Lebih dari itu, puasa hakikatnya adalah “urip sakjeroning mati lan mati sakjeroning urip” (hidup di dalam ‘mati’ dan ‘mati’ di dalam hidup). Mati di sini ditulis dalam tanda kutip, karena maknanya tidak benar-benar mati. Hanya seolah-olah mati. Mati segala hawa nafsunya, namun tetap hidup jiwa dan raganya. Hanya kehadiran Allah yang dirasakan di dalam hati. Lainnya nihil. “Suwung” (kosong). “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (Al Qaaf: 16). Tuhan ada di sini, di dalam jiwa ini, kata Ebiet G Ade.
Pertanyaan berikutnya, kalau puasaku masih sebatas menahan lapar dan dahaga, belum “urip sakjeroning mati lan mati sakjeroning urip”, apalagi separuh Ramadanku telah terbang, bagaimana bisa aku berjumpa dengan “lailatul qodr”, suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan (83 tahun)? Yakni, malam diturunkannya kitab suci Al Quran atau Nuzulul Quran?
Bagaimana pula aku bisa berjumpa dengan Idul Fitri dalam kondisi “fitri” atau suci (dan indah), seperti bayi yang baru dilahirkan, atau terlahir kembali, atau reinkarnasi, ketika separuh Ramadanku telah terbang, dan puasaku pun sekadar menahan lapar dan dahaga?
Duh, Gusti. Semua ini aku serahkan kepada-Mu. Aku percaya “qodho” dan “qodar"-Mu.