TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Kanselir Jerman Olaf Scholz selama tiga hari berada di China, untuk kunjungan resmi kenegaraan.
Ia akan bertemu Presiden Xi Jinping dan Perdana Menteri Li Qiang, yang mengundangnya.
Kunjungan ini dilakukan di tengah situasi runyam di front Eropa dan Timur Tengah, saat dua kutub kekuatan dunia beradu posisi dan pengaruh.
Konflik Ukraina di satu sisi menyeret Jerman ke situasi sulit dan cenderung bermusuhan dengan Rusia. Sisi lain konflik Israel-Palestina turut menyeret Iran ke pusaran masalah.
Jerman sebagai kekuatan ekonomi terkuat di Eropa ada di simpang jalan. Kepemimpinan Olaf Scholz membawa Berlin untuk menyokong Ukraina.
Hegemoni AS lewat NATO terlampau kuat untuk ditentang Jerman, meski kerugian besar diderita ekonomi Jerman.
Industri Jerman adalah konsumen terbesar sumber energi Rusia. Bertahun-tahun mereka ditopang minyak dan gas murah yang dikirimkan Moskow.
Proyek raksasa Nord Stream-1 pun lahir melintasi Eropa timur, dan sangat menguntungkan kedua pihak. Dilanjutkan Nord Stream-2 yang kali ini langsung terhubung ke Jerman.
Perang Ukraina mengubah segalanya. Nord Stream-2 disabot. Pipa dasar lautnya di perairan Swedia diledakkan oleh tim khusus Angkatan Laut AS.
Jerman terjepit, dan tokoh ‘hawkish’ di pemerintahan Scholz akhirnya mendorong partisipasi Jerman dalam pertempuran darat Ukraina-Rusia.
Baca juga: Kanselir Scholz ke Israel: "Jerman Berada di Sisi Anda"
Baca juga: Hindari Perang dengan Rusia, Scholz: Jerman Tak akan Tempatkan Pasukan di Ukraina
Berlin mengirimkan bantuan senjata dan Leopard-2 ke Kiev. Mereka juga melatih tentara Ukraina yang jadi awak tank tempur berat itu.
Jerman di tangan Olaf Scholz terlibat sangat dalam di Ukraina. Dua menterinya, Menlu Annalena Baerbock dan Menteri Ekonomi Robert Habeck adalah penganjur permusuhan terhadap Rusia.
Lantas apa misi Olaf Scholz ke Beijing?
Kunjungannya yang didampingi para petinggi raksasa industri Jerman adalah sinyal Scholz ingin menjaga iklim bisnis investasi Jerman-China.