Namun, dari sudut pandang Tiongkok, Jerman hanya menempati peringkat ke-8 tujuan ekspor, kalah dibandingkan AS, Jepang, dan bahkan dengan Vietnam.
Semua hal di atas tidak berarti hubungan ekonomi dengan Berlin tidak penting bagi Beijing. Hubungan tersebut lebih penting lagi bagi Berlin.
Di antara aktor-aktor rasional, pola saling ketergantungan seperti itu menjadi alasan dilakukannya kerja sama.
Jika ada pihak yang lebih berhak dalam hal ini, maka itu adalah Tiongkok, yang mungkin telah mencoba untuk memberi sambutan simbolik ke Jerman.
Di kota manufaktur utama Chongqing, Scholz dan rombongan hanya disambut Wakil Wali Kota Chongqing.
Level pejabat yang menyambut kedatangan Kanselir Jerman ini memperlihatkan bagaimana Beijing samar-samar memperlakukan Scholz.
Jerman berdasar data IMF berpenduduk kurang lebih 84 juta jiwa, sedangkan Chongqing sebagai satu di antara kota besar di China berpenduduk lebih dari 30 juta jiwa.
Proyeksi pertumbuhan PDB Jerman tahun ini turun hampir mencapai nol (0,5 persen), sementara Tiongkok yang berpenduduk 1,4 miliar jiwa, PDB-nya diperkirakan tumbuh 4,6 persen.
Perbandingan ini memperlihatkan betapa lebih superiornya China dibanding Jerman, yang masih jadi penopang industri di Eropa.
Kanselir Jerman dalam konteks ini menunjukkan perannya yang lemah karena masalah ekonomi. Hanya ada satu cara untuk memainkannya dengan baik, dan itu melibatkan politik.
Scholz dapat memberikan ruang untuk bermanuver bagi Jerman jika dia melakukan apa yang diisyaratkan pesan Global Times yang menyuarakan keinginan Beijing.
China ingin melihat Jerman dan Sholz menunjukkan otonomi, membuat sedikit jarak antara dirinya dan kelompok garis keras yang mendominasi Washington dan Brussels (Uni Eropa).
Apakah Scholz berani bersikap, mengingat kemanfaatan ekonomi bagi Jerman untuk berbaik-baik dengan Beijing, rasanya masih sulit.
Tapi pesan di Foreign Policy memperingatkan, tanpa Jerman, maka pendekatan keras oleh Uni Eropa tidak akan pernah berhasil.
Tanpa UE yang mematuhi kebijakan ini, permainan Washington juga akan menjadi jauh lebih menantang.
Itulah peluang dan kekuatan yang ada yang bisa dimanfaatkan Sholz: kekuatan untuk menyeimbangkan dan bermain di kedua sisi.
Sayang, Kanselir Scholz punya banyak keterbatasan. Dia bukan Bismarck yang hebat dalam sejarah Jerman.
Scholz kerap dianggap kanselir yang paling ceroboh, karena begitu tunduknya kepada AS. Dia kanselir paling lemah dalam sejarah Jerman pasca-Perang Dunia II.
Kanselir Scholz hanya menyeringai ketika Presiden Joe Biden yang ditemuinya lantas mengumumkan AS akan menghancurkan jaringan pipa Nord Stream-2, jika diinginkan.
Ketika itu benar-benar terjadi, Jerman dan kanselirnya tidak berbuat apa-apa dan terus tersenyum.
Di bawah kepemimpinan Scholz, Berlin menjadi klien sempurna bagi AS.
Oleh karena itu, tidak ada siang hari yang nyata antara Berlin dan Brussel. Orang Jerman ultra-Atlantik lainnya, Ursula von der Leyen, menjalankan misi itu di Komisi Eropa.
Benar, beberapa pengamat berspekulasi Jerman secara licik mengambil jalan pintas, namun hal tersebut tidak berarti apa-apa, secara absolut, bagi Beijing.
Masalah ketergantungan juga membawa kita pada ironi terakhir dari kunjungan Scholz.
Kanselir Jerman memberitahukan ia bermaksud menantang Beijing mengenai kebijakannya terhadap Rusia dan juga perang di Ukraina.
Intinya, Scholz tampaknya percaya tugasnya – dan merupakan haknya – adalah mendesak Tiongkok untuk melonggarkan hubungannya dengan Rusia.
Ia berusaha mendesak China untuk mendukung usulan barat yang tidak realistis, untuk mengakhiri perang di Ukraina tanpa mengakui Rusia yang memenangkan perangnya.
Ada dua hal yang salah dengan sikap Scholz yang sangat tuli nada ini.
Pertama, Jerman maupun UE tidak berada dalam posisi untuk mengajukan permintaan seperti itu kepada Beijing.
Mereka tidak mempunyai argumen atau kekuatan untuk mendukungnya.
Dalam kasus seperti ini, tindakan yang lebih bijaksana dan bermartabat adalah dengan berdiam diri.
Kedua, yang kurang jelas, siapakah Scholz yang mencoba ikut campur dalam kemitraan antara Moskow dan Beijing.
Ketiga negara ini telah menjalankan kemitraan yang ditandai rasionalitas dan penghormatan terhadap kepentingan nasional masing-masing.
Selama Jerman menawarkan kepatuhan yang tidak perlu dipertanyakan lagi dan tidak rasional kepada Washington, tidak ada seorang pun yang akan tertarik dengan nasihatnya.
Itulah ironinya. Kunjungan Scholz, pada dasarnya, merupakan hasil dari fakta barat belum mampu membujuk Tiongkok.
Apakah situasinya segera akan berubah? Tergantung penerus Scholz nantinya. Mungkin pengganti Scholz lebih baik dan akan berbaik-baik dengan Moskow.
Dia mungkin akan terbang ke Moskow, melakukan hal sama yang dilakukan Scholz di Beijing. Tapi hasilnya pasti sama; Rusia takkan bisa dibujuk.
Dengan demikian sangat jelas, bagi Jerman, Beijing tetaplah relevan dan dibutuhkan.
Lebih-lebih Rusia, yang bertahun-tahun membuktikan hubungan baik Berlin-Moskow jauh lebih menguntungkan.(Setya Krisna Sumarga/Editor Senior Tribun Network)