Serangan Iran itu memperlihatkan kemampuan strategis militer mereka, sekaligus perlawanan mereka terhadap Israel dan dunia barat yang mendukungnya, bukan gertak sambal.
Iran, selama bertahun-tahun secara ekonomi diembargo AS dan sekutunya di Eropa dan Asia. Mereka nyaris terisolasi, sebelum Rusia, China, dan India mengambil sikap berbeda.
Kekuatan Teheran turut mengubah geopolitik global dari yang tadinya unipolar karena hegemoni AS, menjadi lebih multipolar.
Pengaruh dan campur tangan AS di Timur Tengah selama bertahun-tahun membuat banyak negara Arab begitu patuh pada agenda barat.
Mereka ditakut-takuti kekuatan revolusionis Iran, dengan basis mengolah isu politik sektarian pengaruh Syiah Iran.
Penguasa Kerajaan Arab Saudi menjadi kekuatan utama yang dipengaruhi AS, guna memperkuat permusuhan dengan Teheran.
Belakangan, sikap Riyadh mulai bergeser. Mereka membuka komunikasi dengan Iran, dan memperbaiki pemosisian Arab terhadap Iran.
Pemimpin de facto Arab Saudi, Pangeran Mohammad bin Salman, perlahan menjaga jarak dengan pemimpin AS, dan membuka kedekatan dengan Rusia, China, dan kekuatan Asia lainnya.
Perubahan itu secara sederhana bisa dilihat dari bagaimana Pangeran Mohammad bin Salman memperlakukan kunjungan Presiden China Xi Jinping dan Presiden AS Joe Biden.
Sangat kontras. Xi Jinping disambut sangat hangat di Riyadh, sementara Joe Biden hanya berkunjung singkat dalam suasana penyambutan dingin.
Begitu pula saat Presiden Rusia Vladimir Putin berkunjung ke Arab Saudi. Putin diperlakukan hangat, sama seperti saat Riyadh menyambut Xi Jinping.
Dari segi organisasi global, Arab Saudi sudah menyatakan minatnya bergabung ke BRICS, persekutuan ekonomi yang diinisiasi Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan.
Kembali ke isu kecelakaan udara yang menimpa Presiden Iran Ebrahim Raesi, tentu semua yang peduli Iran berharap kabar baik datang dari lokasi kejadian.
Raesi, bagaimanapun seorang pemimpin langka Iran, yang konservatif namun mampu menjalin hubungan moderat dengan berbagai kekuatan dunia.