News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Catatan Ketua MPR RI: Negara Wajib Peduli Masa Depan dan Tantangan Gen Z

Editor: Content Writer
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI sekaligus Dosen Pascasarjana Fakultas Hukum Borobudur, Trisakti dan Universitas Pertahanan RI (UNHAN)

oleh:

Bambang Soesatyo

Ketua MPR RI/Dosen Pascasarjana Fakultas Hukum Borobudur, Trisakti dan Universitas Pertahanan RI (UNHAN)

TRIBUNNEWS.COM - Data resmi tentang 10 juta remaja atau generasi Z (Gen Z) yang tidak melanjutkan sekolah dan tidak bekerja harus ditanggapi dengan bijak, dengan menghadirkan pendekatan solutif.

Berpijak pada titah konstitusi dan tujuan pembangunan itu sendiri, negara wajib peduli pada fakta itu dengan melakukan intervensi untuk mengatasi masalahnya.

Pada pembukaan UUD 1945 alinea keempat, salah satu titahnya sangat jelas, yakni kewajiban negara mencerdaskan bangsa. Kemudian, dalam pasal 31 ayat 1 UUD 1945, pernyataan konstitusionalnya pun sangat tegas; bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Makna titah konstitusional ini jangan dipersempit.

Sebaliknya, titah tentang kewajiban negara mencerdaskan bangsa itu harus dihayati dan diimplentasikan dalam arti yang seluas-luasnya, seturut perkembangan dan kebutuhan zaman.

Dalam konteks itu, contoh historis tentang intervensi pemerintah layak untuk dikedepankan. Karena alasan kebutuhan, pada awal dasawarsa 60-an, pemerintah melakukan intervensi melalui keputusan Presiden Soekarno mengirimkan ribuan mahasiswa belajar di negeri lain, seperti Amerika Serikat, Belanda, Tiongkok, Jepang, dan sejumlah negara di kawasan Eropa Timur. Alasannya, belasan tahun sejak proklamasi kemerdekaan, negara kekurangan tenaga ahli yang dibutuhkan untuk pembangunan.

Jadi, tujuan ideal penugasan belajar ke luar negeri itu jelas; selesai menimba ilmu di negeri lain, ribuan mahasiswa itu diwajibkan kembali ke Indonesia untuk membangun negaranya. Itulah Impian negara-bangsa pada era itu.

Memang, sejarah mencatat bahwa setelah menyelesaikan tugas belajarnya, banyak dari mereka yang tidak bisa kembali ke Indonesia karena perubahan politik di dalam negeri sejak 1965.

Catatan historis ini patut dikedepankan untuk menjelaskan bahwa negara idealnya terpanggil untuk melakukan intervensi, ketika jutaan putra-putri bangsa era terkini – yang karena beberapa alasan – tidak memiliki daya dan akses untuk mengembangkan bakat dan membangun kompetensi pada bidang-bidang keahlian yang menjadi minat mereka. Bukankah negara wajib mencerdaskan putra-putri bangsa?

Sebaliknya, kalau 10 juta Gen Z yang tidak sekolah dan tidak bekerja itu hanya dibiarkan seperti apa adanya sekarang, di kemudian hari pun negara harus peduli pada mereka.

Sebab, ketika sebagian dari mereka sungguh-sungguh menjadi tak berdaya sehingga terperangkap dalam kemiskinan, negara tidak bisa lepas tangan. Bukankah konstitusi memerintahkan negara harus peduli. Menurut pasal 34 ayat 1 UUD 1945, fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.

Baca juga: Catatan Ketua MPR RI: Tampilkan Politik yang Bermartabat, Pembelajaran Bagi Generasi Muda

Karena itu, data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) tentang 10 juta remaja atau Gen-Z yang tidak melanjutkan sekolah dan tidak bekerja itu jangan sampai menjadi catatan untuk sekadar diratapi atau dijadikan bahan obrolan. Bersama pemerintah pusat dan pemerintah daerah, semua pihak didorong untuk lebih menunjukan kepedulian.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini