Penegasan itu akan bermakna sangat signifikan, jika ternyata Kiev dan negara-negara barat menolaknya.
Mantan perwira intelijen Korps Marinir AS dan eks inspektur senjata PBB, Scott Ritter, menyebut skenario ini bakal menyudutkan NATO dan Uni Eropa.
Jika Ukraina dan pendukung baratnya menolak, kata Vladimir Putin, segala urusan selanjutnya menjadi tanggung jawab politik dan moral mereka atas berlanjutnya pertumpahan darah di Ukraina.
Situasi menjadi berbalik secara politis, dan strategi menawarkan kesiapan Moskow bernegosiasi damai ini menjadi langkah brilian Putin.
Ukraina Global Summit di Swiss pada akhirnya akan kehilangan momentum, tidak akan pernah berhasil, dan kini memiliki sudut pandang yang sangat berbeda.
Barat dipaksa membahas inisiatif perdamaian dari Rusia, mengkalkulasinya secara realistis sesuai kenyataan di lapangan saat ini.
Mimpi Volodymir Zelensky agar Rusia meninggalkan Donbass dan dua wilayah timur Ukraina lainnya semakin tidak realistis.
NATO dan Uni Eropa dipaksa memikirkan tawaran baru ini, dan pastinya menempatkan negara barat pada dilemma atau pilihan tak mudah.
Inilah efek dari skenario yang ditawarkan Vladimir Putin. Rusia menginginkan kekuatan barat berpikir ulang tentang masalah Rusia-Ukraina berikut segala kompleksitasnya.
Rusia menginginkan penyelesaian konflik. Mereka menginginkan rencana perdamaian sejati, tanpa embel-embel apapun.
Jelas ini mengisyaratkan keteguhan Rusia mempertahankan proposal Istanbul 2022 dengan tetap mempertimbangkan kenyataan di lapangan.
Peta jalan yang diusulkan Vladimir Putin juga memenuhi tujuan awal operasi militer khusus yang dilancarkan sejak 24 Februari 2022.
Utamanya, demiliterisasi dan de-Nazifikasi Ukraina. Demiliterisasi akan terjadi melalui proses negosiasi. Sedangkan denazifikasi jelas akan mengubah masa depan politik Ukraina.
Rakyat Ukraina harus menentukan tatanan politik mereka di masa mendatang, apakah terus mempertahankan eksistensi kelompok politik sayap kanan, atau sebaliknya.