Oleh: Gede Sandra, Sarjana untuk Indonesia
TRIBUNNEWS.COM - Pagi ini saya mendapat berita dari keluarga petani di Liwa (Lampung Barat), bahwa harga beli di pasar untuk sayuran dan palawija anjlok. Harga sawi dan muntul (ubi jalar) di level petani hanya dihargai Rp 300/kg. Jatuh dari harga di bulan lalu Rp 1000/kg.
Padahal sekuartal (4 bulan) yang lalu petani sempat menikmati harga Rp 3.500/kg untuk komoditi yang sama. Tragedi turunnya harga ini merugikan banyak keluarga petani sayuran di Lampung Barat.
Fenomena turunnya harga barang atau deflasi ini juga terjadi secara nasional. BPS mencatat dalam dua bulan berturut-turut (Mei dan Juni) terjadi deflasi, sebesar 0,03 persen dan 0,08 persen (month to month). Turunnya harga adalah pertanda kuat melemahnya daya beli dari masyarakat.
Baca juga: Bamsoet Ungkap Akar Permasalahan Judi Online: Daya Beli Masyarakat Terus Merosot
Sebagai contoh ekstrim, Depresi Global pada tahun 1930-an di AS juga ditandai tingginya angka deflasi yang bisa mencapai rata-rata 7 persen pertahun selama empat tahun berturut-turut (1930-1933).
Tanda pelemahan daya beli juga muncul dari data yang lain, yaitu data penjualan kendaraan dan rata-rata besaran tabungan masyarakat kelas bawah.
Berdasarkan data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikondo) selama periode Januari-Juni 2024, terjadi penurunan penjualan sebesar 19,4 persen disbanding periode yang sama tahun lalu.
Menurut riset Gaikindo dan LPEM FEUI, penurunan penjualan kendaraan ini sebabkan oleh melemahnya daya beli masyarakat.
Kemudian bersumber dari data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk distribusi tabungan masyarakat di bank umum, disebutkan terjadi penurunan dalam mayoritas tabungan (98 persen pemilik rekening) masyarakat.
Mayoritas tabungan, yang di bawah Rp 100 juta, mengalami penurunan bulanan sebesar 4 persen pertahun. Seorang ekonom muda (yang kabarnya akan masuk ke dalam kabinet pemerintahan mendatang), pernah membuat sebuah indikator yang mengukur rata-rata kepemilikan tabungan di bawah Rp 100 juta.
Disebutkan bahwa sebelum Pandemi rasionya adalah sebesar Rp 1,4 juta/rekening, sementara saat ini rasionya sudah turun ke Rp 800 ribu/rekening.
Jadi pemerintah tidak dapat mengelak lagi bahwa memang telah terjadi pelemahan daya beli masyarakat dalam beberapa bulan terakhir. Bukannya membantu meningkatkan daya beli masyarakat, pemerintah malah mengeluarkan kebijakan yang semakin memperburuk.
Baca juga: IHSG Dibuka di Zona Hijau, Nilai Tukar Rupiah Terdepresiasi
Contoh kasus adalah kebijakan Menteri Perdagangan yang mempermudah impor tekstil dari China, akibatnya selama Januari-Juni 2024 sedikitnya sebelas ribu buruh di industri tekstil di-PHK. Sebelas ribu ini bila dikalikan dengan anggota keluarga dalam rumah tangga dapat menjadi 44 ribu jiwa manusia Indonesia yang hancur daya belinya. Contoh kebijakan lainnya dari pemerintah yang berpotensi semakin menghancurkan daya beli masyarakat adalah rencana kenaikan PPN ke 12 persen pada tahun depan.
Bila masalah pelemahan daya beli ini tidak segera diatasi sekarang, takutnya akan semakin meluas dan merambat ke pelemahan berbagai sektor produksi lainnya. Untuk apa dunia usaha berproduksi bila tidak ada konsumen yang sanggup membeli.
Kemudian dunia usaha mengurangi kapasitasnya, sehingga mengurangi pegawainya lagi (PHK), daya beli masyarakat makin hancur, dan seterusnya berpusar. Bola salju kehancuran daya beli semacam ini berpotensi memperlambat perekonomian bahkan seburuk-buruknya dapat menghasilkan kontraksi ekonomi. Bila ini yang terjadi, maka rencana Pemerintahan Prabowo untuk meraih pertumbuhan delapan persen secara kontinyu dapat berantakan.
Baca juga: VIDEO Asosiasi Pengusaha Minta Tapera Dibatalkan: Beratkan Pekerja dan Turunkan Daya Beli
Ekonom senior Faisal Basri baru-baru ini sudah memperingatkan bahwa pemerintahan saat ini sudah meninggalkan bom waktu berupa hancurnya BUMN-BUMN yang terbebani oleh membengkaknya biaya proyek-proyek infrastruktur besar, yang dijadikan contohnya adalah proyek kereta cepat Whoosh.
Maka maksud kami, jangan sampai ramalan tentang bom waktu ini menjadi kenyataan, dan bahkan lebih buruk daripada yang dibayangkan- tidak hanya meninggalkan kehancuran BUMN, melainkan juga meninggalkan kesulitan ekonomi bagi pemerintahan ke depan.
Agar tidak ada peninggalan kesulitan ekonomi pada pemerintahan baru, maka tidak ada jalan lain, tim sinkronisasi ekonomi antar pemerintahan harus memastikan adanya kebijakan mendesak pemerintahan sekarang untuk dapat meningkatkan daya beli masyarakat bawah.
Sisi permintaan harus dijaga. Anggaran-anggaran yang tidak lagi prioritas, seperti anggaran infrastruktur (termasuk pembangunan IKN) harus segera direalokasi/refocusing untuk program-program peningkatan daya beli masyarakat bawah. Program yang paling efektif untuk meningkatkan daya beli rakyat dalam jangka pendek adalah program cash transfer, semacam bansos BLT, yang ditransfer via ATM ke ibu rumah tangga/perempuan di wilayah miskin perdesaan dan perkotaan.