Oleh: Guru Besar Kebijakan Publik Universitas Hasanuddin
Prof. Dr. M Nur Sadik, MPM
TRIBUNNERS - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden atau revisi UU Wantimpres.
Usulan ini sudah disahkan dalam rapat paripurna pada Kamis 11 Juli 2024.
Poin-poin utama dari revisi tersebut antara lain mencakup Pasal 1 yang menyebutkan perubahan nama dari Dewan pertimbangan Presiden/Wantimpres menjadi Dewan Pertimbangan Agung/DPA.
Kemudian Pasal 2 DPA menjadi lembaga negara. Lalu ada Pasal 9 di mana DPA terdiri dari ketua yang merangkap anggota dan beberapa orang yang jumlahnya ditetapkan oleh presiden.
Artinya, jumlah Anggota DPA yang dipilih presiden bisa tidak terbatas. Atas hal ini telah menimbulkan polemik baik dari segi regulasi konstitusi hingga tinjauan politik praktis.
Sebelumnya perlu diketahui bahwa dalam UUD 45 yang asli, DPA disebut dalam Pasal 16 yang kedudukannya adalah sebagai lembaga tinggi negara, setara dengan presiden yang berkewajiban memberi jawaban atas pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah.
Sementara, merujuk ke UUD yang telah diamandemen, fungsi dan kedudukan DPA berdasar pasal tersebut di atas telah dihapus. Kemudian muncullah UU 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden.
Artinya, Watimpres melekat pada tugas eksekutif kepresidenan.
Di luar saling-silang posisi DPA dan Wantimpres ini, ada dugaan kekuatiran bahwa posisi baru ini lebih berbau politik praktis, menegaskan soal keberpihakan terhadap regulasi.
Regulasi itu adalah aturan untuk kehidupan bernegara yang baik, bukan dibuat selaras untuk kepentingan orang atau kelompok tertentu. Itu inti poinnya.
Kalau dilihat sejarahnya DPA ke UUD 45 yang lalu dan seperti ingin dihidupkan kembali, wajar bila orang bertanya apa itu bukan pemborosan anggaran negara.
Di sini ada istilah money follows function, lihat juga fungsinya. Apakah umpama DPA dan Watimpres itu fungsi dan kinerjanya sama
Kalau sama, sementara secara biaya DPA lebih besar, apa itu bukan pemborosan
Tapi kalau fungsi dan kinerja DPA lebih baik dari Watimpres, maka ada pembenaran di balik itu, ada logical explanation-nya.
Orang sekarang mempertanyakan efektifitas kelembagaan dalam tatanan bernegara.
Contohnya gini, apakah memang DPA itu lebih mempan dalam hal memberi nasihat dan pandangan terhadap Presiden, ketimbang Watimpres yang dinilai publik melekat dengan Presiden sehingga dianggap kurang efektif?
Hal-hal yang dipertanyakan publik itu sebenarnya mesti digarisbawahi oleh semua pemangku kepentingan.