Oleh: Algooth Putranto
Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya
Awal April 2024, bagi saya adalah salah satu momentum yang bikin pening hidup saya.
Dua telepon dari dua orang terpisah meminta saya berangkat ke Vatikan sungguh bikin senewen di tengah isu pelemahan kelas menengah di Indonesia. Jelas!
Tidaklah murah bepergian ke Eropa!
Namun entah bagaimana, mungkin memang benar tamsil ‘Atasan Paus di Vatikan’ selalu punya rencana misterius untuk kita, termasuk jalan keluar bagi kelas menengah nanggung seperti saya.
Repotnya surat undangan dari Trias Kuncahyono, Dubes Indonesia untuk Takhta Suci belum di tangan saya.
Sekali lagi, entah bagaimana, tiba-tiba Amrih Jinangkung, Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kemlu mengajak makan siang.
Dan hanya hitungan jam, surat undangan sebagai modal pengurusan visa bukan masalah besar.
Baca juga: Disambut Presiden Jokowi, Paus Fransiskus Tiba di Istana Merdeka
Sisanya dan singkatnya, di tengah hari libur kejepit Idul Fitri, saya berhasil menapakkan kaki di Vatikan, sebuah negara mini di tengah negara Italia.
Meski negara mini dan tidak menjadi anggota PBB, jika Paus atau pemimpin Vatikan batuk-batuk kecil maka suaranya ibarat gempa hingga ke ujung dunia.
Paus tak perlu pidato yang berapi-api laksana singa panggung Presiden Soekarno atau penuh amarah serupa Nikita Khrushchev, pemimpin Uni Soviet.
Sebaliknya pidato semua Paus, termasuk Paus Fransiskus, SJ saat menyampaikan homili dengan intonasi yang datar.
Penyampaian pesan yang datar ini kerap kali menjadi senjata Paus, termasuk saat menyampaikan ‘amarah’ pada paradoks ketidakadilan dunia.