News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Paradoks Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia

Editor: Dodi Esvandi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Paus Fransiskus (tengah, di kursi roda) disambut saat kedatangannya di Bandara Internasional Soekarno Hatta di Jakarta pada 3 September 2024.

Para gembala umat Katolik Indonesia memilih bertekun pada profetik: menjalani tugas kerasulan diakonia (pelayanan), kerygma (pewartaan), liturgi (ibadat), dan martyria (semangat kenabian).

Sekaligus menjaga keselarasan hidup dengan lingkungan.

Sikap KWI bukan hal aneh, apalagi Paus Fransiskus mendorong “ekologi integral” dalam ensiklik kedua-nya: ‘Laudato Si' yang salah satunya menyoroti peran bahan bakar fosil dalam menyebabkan perubahan iklim.

Dan soal tambang ini, para imam Katolik memahami kompleksitas pertambangan karena merupakan bagian mendasar dari rantai pasokan global yang menghubungkan masyarakat, negara, dan bisnis.

Pada sisi lain, pertambangan disadari memiliki ekses bagi daerah dan komunitas tertentu, seringkali di daerah terpencil yang jauh dari pengawasan dan di wilayah-wilayah yang dihuni oleh masyarakat adat atau masyarakat terpinggirkan lainnya.

Baca juga: Suasana Jelang Kedatangan Paus Fransiskus di Istana Merdeka Jakarta

Keberpihakan Gereja Katolik pada perjuangan melawan eksplorasi alam cukup panjang.

Sejumlah penambangan logam di Amerika Selatan hingga Asia gigit jari.

Sementara di Indonesia, gereja Katolik tak malu-malu ada di balik gerakan Kendeng, Manggarai (Flores) dan lain-lain.

Bukan rahasia lagi kecenderungan eksplorasi tambang menempatkan warga negara menjadi subordinat di hadapan negara.

Apalagi negara, sebagaimana disebutkan Weber, menjelma menjadi sistem kekuasaan yang absolut.

Jika di masa Orde Baru, warga yang menolak tambang akan diberi stempel komunis, maka di masa kini, masyarakat penolak tambang, tanpa diberikan pengakuan (rekognisi) dan ruang dialog langsung diberi cap: anti pembangunan.

Tekanan yang diberikan negara bagi warganegaranya tak hanya dilakukan melalui kekerasan fisik di ruang nyata, namun juga di dunia maya melalui pendengung (buzzer) yang mengaburkan kebenaran di ranah media sosial.

Maka benarlah jika Yuval Noah Harari menyatakan kehidupan era revolusi digital justru melahirkan kedigdayaan Homo Deus dengan mencerabut eksistensi Homo Sapiens untuk hidup harmoni saling memerlukan.

Saya rasa, pembicaraan tentang tambang yang ramah alam dan manusia juga menjadi salah satu hal yang harus dengan pintar disampaikan Presiden Jokowi, saya percaya fatwa Paus akan menjadi modal melunturkan sikap keras Uni Eropa pada Indonesia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini