Ketidakstabilan politik akut yang menjadi ciri sebagian besar negara demokrasi barat, dan tidak mengejutkan jika itu terjadi akhir-akhir ini.
Amerika Serikat saat ini berada di tengah-tengah persaingan sengit menuju Pilpres 6 November 2024.
Donald Trump dan Kamala Harris baru-baru ini menegaskan dukungan mereka terhadap rezim Netanyahu di Israel.
Kedua kandidat itu juga mendukung rezim Zelensky di Ukraina, meskipun bernada agak kurang antusias disbanding Joe Biden.
Di balik semua semangat ideologis dan kemewahan serta keglamoran selebritas, Donald Trump-lah yang telah menentukan karakter dan parameter pemilihan Presiden AS.
Trump adalah karakter politik dan eks Presiden AS yang dihukum karena terus menyebarkan narasi "pemilu curian" yang telah didiskreditkan.
Pada 6 Januari 2021, Trump mendorong pendukung fanatiknya menyerbu Gedung Capitol guna mencegah Wakil Presidennya sendiri (Mike Pence) mengesahkan hasil Pemilu 2020.
Para perusuh meneriakkan "Bunuh Pence" dan Pence beserta keluarganya diantar ke tempat aman oleh petugas keamanan.
Trump juga mencoba menekan petugas pemilu agar memutuskan ia telah memenangkan pemilu di beberapa negara bagian, suatu masalah yang saat ini sedang dituntut kepadanya.
Satu dekade lalu, seorang politikus yang bertindak seperti ini tidak mungkin menjadi kandidat presiden, dan tidak ada partai besar yang akan mendukungnya.
Trump dengan berani membela tindakannya dalam sebuah wawancara minggu ini, berjanji membalas hukuman kepada lawan-lawan politiknya jika ia menjadi presiden.
Ini adalah ukuran kemunduran politik Amerika. Rivalnya, Kamala Harris jarang merujuk pelanggaran Trump terhadap demokrasi liberal.
Ia lebih suka mengejek Trump dengan menyebutnya aneh dan menyeramkan.
Meskipun Harris baru-baru ini unggul dalam jajak pendapat, hasil pemilihannya masih belum pasti – karena lebih dari 70 juta dari 150 juta orang Amerika yang mau memilih adalah pendukung setia Trump.