Tindakan hukuman baru terhadap media-media Rusia juga diumumkan Jaksa Agung AS Merrick Garland.
Tindakan agresif langsung dialami Scoot Ritter. Mantan inspektur senjata PBB yang pensiunan Kolonel di intelijen Marinir Amerika itu dijegal saat hendak pergi ke Sankt Petersburg Rusia.
Rumahnya digeledah petugas FBI. Tidak ada tuduhan resmi dikenakan kepadanya. Scoot Ritter dipersekusi karena ia jadi kolumnis media Rusia.
Analisis dan komentarnya lugas, dan memperlihatkan kebobrokan politik Amerika dalam masalah Ukraina maupun Timur Tengah.
Apa yang sedang terjadi? Mengapa super power yang mengklaim kampiun demokrasi, sekarang berperang melawan media?
Tara Reade, mantan staf khusus Joe Biden menyebut elite kekuasan di Amerika kini tampak sedang putus asa.
Mereka ingin membungkam suara-suara alternatif yang membuka fakta dan kedok perang proksi Amerika di Ukraina.
Media Rusia di bawah jaringan Rossiya Segodnya menunjukkan informasi versi mereka telah mengancam narasi kompleks industry militer dan komunitas intelijen Amerika.
"Mereka mencoba mengkriminalisasi jurnalisme," kata Tara Reade seraya memperingatkan ancaman serupa akan menimpa outlet media lain di manapun yang tak ksesuai kehendak Washington.
Mantan pejabat Departemen Luar Negeri Amerika dan pensiunan perwira intelijen CIA Larry Johnson menyebut kebebasan berbicara di Amerika sedang diserang.
Johnson pun sedang menunggu waktu apakah dirinya akan dipersekusi seperti halnya Scott Ritter, karena ia kerap berbicara kritis di media Russia Today.
Mantan analis Departemen Pertahanan AS Karen Kwiatkowski memperkirakan kampanye hukum terhadap media Rusia ini erat kaitannya dengan usaha elite Washington meningkatkan histeria Russiagate jelang Pilpres November.
Siapa yang bakal memetik manfaat dari histeria Russiagate ini tentu saja kubu Demokrat yang menjagokan Kamala Harris sebagai penerus Joe Biden.
Pernyataan Karen Kwiatkowski tentang Russophobia dan Pilpres AS memang masuk akal. Tapi lebih dari itu, perang melawan media Rusia ini juga memiliki dimensi lain.