Oleh : Teuku Parvinanda, Mantan jurnalis dan Praktisi Komunikasi
MESKIPUN Meski pemilihan presiden (pilpres) 2024 sudah usai, istilah “anak abah” masih terus bergulir di media sosial.
Ungkapan ini sering muncul setiap ada kritik terhadap kebijakan pemerintah, seolah menjadi semacam label yang diberikan oleh buzzer kepada siapa saja yang berani bersuara kritis.
Mereka yang terlibat dalam percakapan tentang kebijakan pemerintah kerap dicap sebagai "anak abah", padahal, bersuara dan berpendapat tidak memerlukan afiliasi politik tertentu.
Setiap warga negara berhak mengutarakan pendapatnya atas nama bangsa, negara, akal sehat, dan hati nurani.
Bersikap kritis bukanlah monopoli satu kelompok, tetapi merupakan bagian dari hak demokratis yang dijamin oleh UUD 1945 serta UU Nomor 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Baca juga: Gerakan Coblos 3 Paslon dari Anak Abah Dikritik, Masyarakat Diminta Rasional Hadapi Pilkada Jakarta
Hak Berpendapat
Menurut Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Selain itu, UU Nomor 9/1998 menegaskan bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak setiap warga negara yang wajib dijaga dan dihormati. Ini adalah esensi dari demokrasi itu sendiri.
Maka, upaya memonopoli kebebasan berpendapat oleh satu kubu politik tertentu atau mendiskreditkan suara kritis dengan label “anak abah” merupakan pelanggaran terhadap hak demokratis rakyat lebih dalam lagi, hak asasi manusia.
Polarisasi Politik Tak Berujung
Fenomena “anak abah” ini sebenarnya merupakan lanjutan dari polarisasi politik yang sudah muncul sejak pilpres 2014. Istilah seperti “cebong”, “kampret”, dan “kadrun” semakin menguatkan kesan bahwa ruang berpikir masyarakat Indonesia semakin sempit dan terfragmentasi.
Polarisasi ini bukan sekadar perdebatan tentang kandidat politik, tetapi telah merusak pondasi akal sehat dan hati nurani masyarakat. Masyarakat Indonesia terprovokasi oleh narasi yang diciptakan oleh elite politik, yang sebenarnya memiliki agenda tersembunyi untuk memecah belah rakyat demi kepentingan kekuasaan.
Hasil dari pilpres dan polarisasi politik ini tidak hanya meninggalkan luka mendalam, tetapi juga menyingkap kegagalan sistem kepartaian di Indonesia. Polarisasi ini telah memperalat rakyat, membuat mereka terpecah dan saling menjatuhkan dengan kebencian yang dangkal.
Ketika kondisi sudah terpecah, para elite politik tampil dengan narasi klise tentang persatuan dan toleransi, padahal dari mereka polarisasi itu bermula. Di belakang panggung, mereka menikmati hasil dari perpecahan ini, sembari berbagi kekuasaan di semua lini pemerintahan.