Perbuatan oleh pengusahan tersebut bisa jadi dikategorikan sebagai gratifikasi terhadap Presiden dan keluarganya, sebagaimana diatur juga dalam TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 sebagaimana juga disampaikan oleh Prof Jimly Ashiddique.
Menurut Beliau, gratifikasi memang belum masuk isu tipikor atau suap, namun mengingatkan bahwa menurut TAP MPR, korupsi keluarga pejabat juga dapat diperiksa oleh aparat penegak hukum.
Kaesang memang bukan Pejabat Penyelenggara, namun ia adalah adik Walikota Solo dan anak dari Presiden RI.
Berdasarkan logika tersebut, gratifikasi yang diterima Kaesang tersebut masih dalam tahap penetapan sebagai gratifikasi yang kemudian dilaporkan.
APH kemudian dapat menelusuri apakah gratifikasi tersebut diberikan dengan maksud untuk memberi fasilitas dan kemudahan sehingga berpengaruh kepada Pejabat Penyelenggara Negara.
Untuk kemudian membuktikannya sebagai tindak pidana korupsi, APH perlu juga menelusuri keuntungan atau benefit apa yang diterima oleh si pemberi Gratifikasi dari Pejabat Penyelenggara tersebut.
Oleh sebab itu, penerimaan Gratifikasi oleh Kaesang perlu dibuktikan lebih lanjut mengenai apa yang didapatkan oleh pemberi Gratifikasi, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Walaupun telah ada keterangan dan pembuktian dari berbagai data yang telah dilaporkan atau diberitakan tersebut, namun pembuktiannya harus dilakukan oleh APH secara prosedural.
Namun begitu, APH (khususnya KPK) kini harus memberikan jawaban dan pertanggungjawaban publik bahwa KPK telah bertindak secara independen dan netral.
Hal ini akan menjadi tolok ukur kemampuan KPK dalam memonitor dan menciptakan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Publik tentu akan menunggu tindak lanjut dari KPK.
Selain itu, peristiwa gratifikasi ini juga mengingatkan kita pada persoalan etika yang mencuat pada saat Pemilu lalu.
Putusan MK terkait umur calon Presiden dan Wakil Presiden dan pencalonan Gibran pada saat itu dinilai sangat tidak etis mengingat ayahnya masih menjadi Presiden dan dapat menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest).
Adapun tindakan Kaesang tersebut bisa jadi juga menimbulkan benefit bagi si pemberi gratifikasi terhadap kepentingan bisnis maupun kepentingan lainnya seperti kemudahan perizinan, kebijakan atau aturan yang memudahkan, dan beberapa priviledge lainnya. Hal ini tentu akan sangat bertentangan dengan etika dan dengan sendirinya merupakan tindak pidana korupsi atau suap.
Mengenai pembelaan oleh Ketua POC atau pihak istana tersebut, saya menilai bahwa memang benar bahwa keterangan tersebut bukan menjadi hal yang perlu dipusingkan oleh semua pihak, karena bukan mencerminkan pendapat dan kajian substansi yang utuh.