Oleh : Algooth Putranto, Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya
AKHIR Oktober mendatang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS digelar di Kazan, Rusia. Ini ajang yang menarik karena meski dikatakan banyak pihak BRICS sangat menguntungkan, toh pada akhirnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan bahwa Indonesia menunda bergabung.
BRICS, merupakan organisasi antarpemerintah yang beranggotakan Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan. BRICS memiliki pengaruh yang besar dalam berbagai kerja sama, mulai ekonomi, militer, hingga geopolitik. Secara akumulasi, populasi penduduk BRICS mencakup 43 persen populasi dunia. Adapun nilai perdagangannya mencapai 16 persen perdagangan global.
Alasan Jokowi menunda Indonesia bergabung BRICS tak jelas, saat itu, dia beralasan pemerintah Indonesia perlu mempertimbangkan dan memperhitungkan berbagai hal. Banyak pihak beradu argumen dengan beragam perspektif. Namun, saya meyakini keputusan Jokowi tidak serta merta.
Mari mundur sejenak pada keberhasilan diplomasi China tahun lalu untuk mendamaikan rival etnis dan agama yang telah lama berseteru, Iran dan Arab Saudi, dunia sempat berharap Beijing akan menangani masalah besar lainnya: invasi Rusia terhadap Ukraina.
Namun, seiring berjalannya waktu, harapan tersebut nampaknya berubah menjadi kekecewaan. Inisiatif enam poin konsensus (Six Point Consensus) yang diklaim dikembangkan China dan Brazil, tampak terlalu samar dan tidak spesifik.
Baca juga: Indonesia-China Mulai Bahas Kerja Sama Hilirisasi dan Industri Hijau
Sekadar mengingatkan, Six Point Consensus lahir usai Wang Yi, Anggota Biro Politik Komite Sentral Partai Komunis China dan Menteri Luar Negeri China, bertemu dengan Celso Amorim, Kepala Penasihat Presiden Brasil, di Beijing, akhir Mei lalu.
Banyak pihak menilai inisiatif China tersebut dilihat hanya sebagai bentuk keinginan China untuk memenuhi ekspektasi dari banyak negara di wilayah Selatan. Repotnya, rencana China itu juga dikritik Rusia dan Ukraina.
Namun, saya melihat ada hal menarik, situasinya kini mulai berubah secara dramatis. China sedang mencoba memanfaatkan ketidakpastian pemilu di Amerika Serikat saat ini dan serius untuk mengakhiri perang di Ukraina.
Ibarat jurus ‘Membuka Jendela Memanah Rembulan’, gerak cepat China saat ini mencegah siapapun mendapatkan pujian sebagai pembawa damai di masa kini atau masa depan bagi Gedung Putih yang tengah kosong.
Beijing bisa saja menerapkan energi perdamaian ini pada konflik lain, terutama di Afrika, di mana masalah keamanan sangat melimpah. Namun, Beijing justru memilih berperan dalam perang di Ukraina, ketika pemilihan Presiden di Amerika sedang berlangsung.
Meski begitu, penulis melihat, Beijing sadar tidak bisa menyelesaikan masalah ini sendirian. Misalnya, Ukraina tidak mempercayai Beijing, yang secara luas diyakini diam-diam mendukung Rusia dalam perang ini.
Pada sisi lain, Presiden Putin, yang memiliki banyak alasan untuk mencoba mengubah batasan republik-republik bekas Soviet, merasa terganggu oleh tindakan Beijing yang mengingatkan perihal prinsip-prinsip kedaulatan.
Namun kini, Beijing memiliki resep andalan yaitu ‘Global South’di mana Beijing hanya perlu mengumpulkan koalisi mayoritas yang dalam tanda petik ‘dipaksa’ atau ‘dibujuk’ untuk mempersuasi syarat-syarat perdamaian kepada kedua belah pihak dalam konflik ini, dan tentunya dunia secara keseluruhan atas nama Global South.