Babak pertama pertunjukan China ‘Menyelesaikan perang di Ukraina’ mulai terlihat pada sesi ke-79 Majelis Umum PBB. Di sela acara itu, Beijing cukup mengumpulkan menteri atau perwakilan tingkat tinggi dari sekutu BRICS dan negara-negara ‘Global South’ untuk membentuk koalisi yang akan mendukung rencana China. Tujuan kelompok ini konkret: menghentikan perang Ukraina.
Meksi demikian, harus dicatat koalisi itu belum mencakup seluruh ‘Global South’, perlu liukan diplomasi dari China untuk merangkul negara-negara lain di Afrika, Amerika Latin, dan Asia atau organisasi internasional regional seperti Uni Afrika.
Jika upaya tersebut mulus, maka negara-negara anggota BRICS secara individu akan melibatkan negara-negara yang berorientasi pada mereka untuk mendukung inisiatif China. Secara tak langsung, Rusia sebagai anggota BRICS pun sebetulnya tahu betul inisiatif China.
Upaya China tentu saja sebuah pekerjaan besar, meski secara sederhana melalui kacamata ekonomi politik bahwa dominasi China pada negara-negara tertentu Global South adalah uang atau lebih tepatnya ketergantungan ekonomi pada China, seperti yang pernah ditulis Brahma Chellaney dalam China's Debt-Trap Diplomacy di tahun 2017.
Tapi mari kita kembali ke drama yang sedang dimainkan Beijing, jika berhasil mengumpulkan cukup banyak dukungan, setidaknya pada tingkat yang cukup untuk membenarkan klaim bahwa 110 negara telah mendukung inisiatif Six Point Consensus maka drama ini akan mencapai klimaksnya.
Drama di Kazan
Panggung untuk ini adalah KTT para pemimpin BRICS di Kazan, Rusia pekan depan. Di wilayah yang mayoritasnya adalah Muslim, Beijing berharap dapat dengan jelas mengusulkan rencana spesifiknya untuk memaksa Ukraina bernegosiasi dengan Rusia, tentu saja atas nama mayoritas negara-negara Global South.
Untuk memastikan keberhasilan implementasi rencana yang sangat diinginkan China, maka mereka harus mendapatkan dukungan dari setidaknya satu pemain Eropa yang berwibawa selain Global South. Katakanlah Inggris atau Jerman yang puyeng jika terus menerus mendukung Ukraina.
Tampaknya dalam hal ini, Beijing telah belajar bagaimana melakukan negosiasi terpisah dengan para pemimpin Eropa tertentu yang merasa tidak yakin dengan posisi mereka di negara masing-masing dan mempertimbangkan kepentingan bisnis lokal serta manfaat kerjasama dengan China.
Nah lalu apa hubungannya semua ini dengan Afrika atau kawasan lain di Global South ketika drama di Kazan mulus terwujud? Apakah hanya kepentingan sesaat China berupa investasi yang terwujud?
Kita harus ingat, uang China berupa investasi, pinjaman dan teknologi ditukar dengan dukungan politik Beijing dalam menyelesaikan perang yang terjadi, misalnya, puluhan ribu kilometer jauhnya dari Afrika Selatan atau Amerika Latin.
Baca juga: UMKM Lokal Intip Peluang Pasar Tiongkok Lewat Event Ini
Penulis ingin mengingatkan, secara jangka panjang PBB dan seluruh arsitektur global akan terseret pada pengaruh Beijing yang cenderung pragmatis. Bisa jadi di masa depan, konflik meruncing di Afrika.
Prinsip keutuhan wilayah di Afrika, yang diabadikan dalam resolusi khusus Organisasi Persatuan Afrika tahun 1964 akan terkoyak karena melayani kepentingan mega-proyek logistik berikutnya dari Beijing.
Dengan mendukung inisiatif politik China di Eropa hari ini, Global South tidak hanya berisiko menghadapi hegemoni ekonomi China, tetapi juga hegemoni politik di wilayah mereka sendiri di masa depan.
Indonesia di mana? Kita punya kerjasama diplomatik dengan 54 negara Afrika, selain itu jangan dilupakan, Presiden Soekarno menempatkan Afrika sebagai mitra yang penting, meski agaknya terabaikan sejak masa Presiden Soeharto hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.