Dan untuk mewujudkan keberhasilan atau kesuksesan di suatu daerah, ikhtiar awal yang harus ditempuh adalah dengan memilih calon Kepala Daerah yang tepat.
Memilih figur yang qualified, mumpuni, visioner serta memiliki visi, misi dan program kerja yang berorientasi pada kemajuan dan kesejahteraan daerah yang akan dipimpinnya kelak.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan itu semua, menjadi sebuah keniscayaan bahwa syarat untuk menjadi calon Kepala Daerah harus diatur dan ditetapkan secara lebih ketat dan selektif. Salah satunya dengan menetapkan batasan pendidikan paling rendah dan batasan usia paling rendah yang paling logis dan paling mendekati ideal.
Syarat batas pendidikan paling rendah
Bahwa mensyaratkan tingkat pendidikan calon Kepala Daerah paling rendah hanya sebatas SLTA atau sederajat sebagaimana yang disebutkan dalam UU Pilkada, dianggap kurang relevan lagi di era modern seperti sekarang ini.
Bagaimana mungkin seorang Kepala Daerah akan mampu memajukan pendidikan berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi jika yang bersangkutan hanya lulusan SLTA atau sederajat.
Bagaimana mungkin yang bersangkutan bisa mendisain smart concept perihal program pengembangan SDM jika tidak pernah mengenyam bangku kuliah.
Bagaimana mungkin yang bersangkutan sanggup membangun kemandirian ekonomi melalui pemberdayaan UMKM dan sektor-sektor ekonomi potensial di daerahnya kelak jika tidak pernah melakukan analisis akademik seperti tugas akhir pada saat kuliah.
Bagaimana mungkin yang bersangkutan bisa menyusun strategi optimalisasi SDA sebagai Pendapatan Asli Daerah apabila tidak pernah belajar dan tidak memahami konsep metodologi.
Baca juga: Sri Mulyani Klaim Cuma Sedikit Kepala Daerah yang Memanipulasi Data Inflasi
Bagaimana mungkin yang bersangkutan bisa merancang APBD yang ideal, sehingga anggaran yang ditetapkan sesuai skala prioritas dan tidak besar pasak dari pada tiang, jika hanya berbekal wawasan dan ilmu dari bangku SLTA atau sederajat saja.
Dan bagaimana mungkin seorang lulusan SLTA atau sederajat mampu memegang tongkat komando untuk menggerakan ribuan orang pegawai di daerah, yang mayoritas isinya adalah para sarjana bahkan tidak sedikit yang sudah S2 ataupun S3.
Sudahkah poin-poin di atas dijadikan variabel pertimbangan oleh para pembuat kebijakan ketika menentukan syarat batasan tingkat pendidikan paling rendah seorang calon Kepala Daerah?
Perusahaan-perusahaan swasta di luar sana saja, dalam merekrut karyawan staf biasa, yang jobdesk-nya lebih bersifat administratif, sudah sangat jarang yang mau menerima lulusan SLTA atau sederajat.
Dan bagi kandidat dengan kualifikasi sarjana sekalipun, harus melewati berbagai macam ujian, tes, dan seleksi terlebih dahulu sebelum dapat menduduki posisi tersebut.
Tidak jauh berbeda dengan proses rekrutmen calon ASN Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.