News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Mari Berpikir “Out of The Box” Soal Ekspor Pasir Laut

Editor: Dodi Esvandi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Bakamla mengamankan tongkang BG Bahtera Bahagia dan kapal TB Tirta Jaya VIII pengangkut pasir laut dari Pulau Citlim, Kecamatan Moro, Karimun, Kepulauan Riau.

Oleh: Algooth Putranto
Penyuka Isu Politik dan Ekonomi 

Setelah lebih dari dua dekade dihentikan, kebijakan ekspor pasir laut kembali dibuka pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. 

Keputusan ini tidak hanya mendatangkan berbagai kritik dari aktivis lingkungan, tetapi juga menjadi bahan perdebatan publik yang mempertanyakan manfaat ekonomi dan dampak ekologisnya. 

Saya akan membatasi untuk tak perlu masuk dalam perdebatan spektrum environmentalis vis a vis developmentalis yang akan jadi perdebatan warung kopi tiada ujungnya. 

Titik pijak saya dalam persoalan ini adalah kelas menengah pragmatis yang sadar dompet Negara kini kering sehingga negara wajib menggenjot pendapatan untuk menyokong belanja Negara. 

Dengan titik pijak ini maka dengan mudah saya akan meletakkan persoalan ekspor pasir hasil sedimen di laut, bila dilakukan secara prinsip keberlanjutan, dapat memberikan manfaat yang signifikan bagi Indonesia dan bagaimana berbagai kritik dapat dijawab secara proporsional dan realistis. 

Baca juga: Soal Eksploitasi Pasir Laut, Pakar Maritim: Indonesia Harus Perhatikan Upaya Pelestarian Lingkungan

Sebagai kelas menengah yang terdidik dengan baik, saya melihat ekspor pasir laut itu memiliki potensi untuk mendatangkan keuntungan ekonomi yang besar. 

Singapura, yang selama ini menjadi importir pasir terbesar di dunia, sangat bergantung pada pasir laut Indonesia untuk proyek reklamasi lahan mereka.

Pada 2003, Indonesia mengekspor sekitar 3,8 juta ton pasir laut dengan nilai transaksi mencapai sekitar US$ 9,6 juta. 

Singapura, yang membutuhkan pasir untuk memperluas wilayah reklamasi seperti di Pelabuhan Tuas, memiliki permintaan yang terus meningkat, diperkirakan mencapai 4 miliar meter kubik hingga 2030.

Keputusan pemerintah untuk membuka kembali melakukan ekspor ini dapat mengisi celah permintaan yang besar tersebut.

Hal ini tentu dapat meningkatkan devisa negara dan membantu menopang berbagai program pembangunan.

Dengan potensi devisa yang dihasilkan dari pasir laut, pemerintah dapat menambal keuangan Negara.

Mengutip Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), potensi volume pasir laut yang ditawarkan pemerintah mencapai 1.764 miliar meter kubik, ini jelas sumber pendapatan signifikan.

Ingat, selain doa yang didaraskan, yang bikin kita tenang adalah Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN) yang mampu melindungi masyarakat dan menjaga stabilitas perekonomian Indonesia di tengah gejolak situasi global.   

Baca juga: Ekonom CELIOS: Ekspor Pasir Laut Akan Menggerus PDB RI Hingga Rp 1,22 Triliun

Inkonsistensi kebijakan?

Salah satu kritik yang kerap muncul adalah inkonsistensi kebijakan pemerintah terkait ekspor pasir laut. 

Pada tahun 2003, Presiden Megawati melarang ekspor ini dengan alasan kerusakan lingkungan.

Namun, perlu diingat bahwa konteks lingkungan dan kebijakan terus berkembang. 

Kini, kebijakan pemerintah fokus pada pemanfaatan hasil sedimentasi, bukan sekadar penambangan pasir laut sembarangan.

Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023, yang menggarisbawahi pengambilan pasir di area yang memiliki sedimentasi berlebih, bertujuan mencegah pendangkalan perairan dan memfasilitasi transportasi laut. 

Jika dilakukan dengan benar, kebijakan ekspor ini dapat meningkatkan penerimaan negara melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Tentu saja, verifikasi dan pengawasan yang ketat menjadi kunci agar kebijakan ini mendukung kesejahteraan masyarakat pesisir dan keberlanjutan lingkungan. 

Baca juga: Pengamat Soroti Motif Presiden Jokowi Buka Keran Ekspor Pasir Laut di Akhir Masa Kekuasaan 

Kritik lainnya mengenai perusahaan yang mendapatkan izin ekspor pasir laut memiliki koneksi politik adalah hal yang wajar.

Jadi, kunci untuk menjawab kritik itu ya lagi-lagi pemerintah harus transparan, kalau perlu pemerintah membuka citra satelit yang sifatnya real time sehingga bisa diakses oleh masyarakat umum.

Harus diingat, pemerintah sebelumnya telah mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa hanya perusahaan yang memenuhi kriteria ketat yang bisa terlibat dalam ekspor ini.

Bea Cukai bersama kementerian terkait akan melakukan verifikasi di setiap titik lokasi pengambilan sedimen, memastikan bahwa pasir yang diambil tidak didominasi pasir silika yang berharga tinggi dan sensitif. 

Selain itu, dengan keterlibatan banyak kementerian dalam proses verifikasi, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), transparansi dalam perizinan dapat terjaga. 

Pemerintah juga menyatakan bahwa pasir yang diekstraksi harus memenuhi persyaratan keberlanjutan, dan perusahaan yang terlibat akan dikenakan pajak ekspor serta wajib memberikan kontribusi pada program rehabilitasi lingkungan.

Ekspor pasir laut juga memiliki potensi untuk meningkatkan perekonomian daerah pesisir melalui penciptaan lapangan kerja. 

Baca juga: Hima Persis Terima Tantangan Debat Terkait Kebijakan Ekspor Pasir Laut

Industri ini tidak hanya membutuhkan tenaga kerja untuk pengambilan dan pengangkutan pasir, tetapi juga untuk kegiatan administratif dan operasional lainnya.

Hal ini dapat menjadi sumber penghasilan tambahan bagi masyarakat pesisir yang mungkin tidak memiliki banyak pilihan pekerjaan lainnya.

Penting juga dicatat bahwa ekspor pasir laut dapat memberikan dampak positif dalam bentuk program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). 

Perusahaan yang terlibat dalam ekspor diwajibkan untuk berkontribusi dalam pengembangan masyarakat setempat, termasuk memberikan pelatihan keterampilan bagi masyarakat pesisir dan nelayan. 

Dengan demikian, dampak negatif dari ekspor pasir laut terhadap nelayan dapat diminimalisasi melalui penyediaan alternatif pekerjaan dan program pemberdayaan.

Keterbatasan Pengetahuan

Lalu kenapa isu ekspor pasir hasil sedimen di laut jadi sedemikian ramai? Bisa jadi ini akibat media massa yang melakukan pemberitaan memiliki keterbatasan sumber daya manusia yang memiliki cukup pengetahuan yang akurat.

Tak bisa dimungkiri algoritma Google telah menjadi ‘tuhan’ bagi media massa menyebabkan media massa tak berani mengambil sikap berbeda demi menjalankan fungsi kontrol sosial meski harus melawan arus opini yang deras di media sosial.

Pada sisi lain, Pemerintah yang berkepentingan terhadap ekspor pasir laut apa sudah memberikan cukup ‘bekal’ bagi media massa dalam memberikan informasi yang seimbang dan akurat tentang isu ini, termasuk menjelaskan manfaat serta tantangan dari ekspor pasir laut.

Jika sadar tak cukup punya kemampuan tersebut, jadi pertanyaan penting apakah Pemerintah sudah menggandeng Key Opinion Leader (KOL), misalnya akademisi yang netral agar membantu mendampingi media massa?

Ini perlu karena eksplorasi, ekspor maupun reklamasi menggunakan pasir laut adalah praktik yang jamak di banyak negara. Tak perlu dengan teori yang melangit dan tak perlu jauh-jauh bicara soal pemanfaatan pasir.

Misal memaksakan diri menarasikan tentang praktik sukses di Jepang atau malah ke Singapura, padahal Pemerintah cukup menunjukkan ke Jakarta Utara: ada sebuah kawasan wisata berupa pantai buatan lengkap dengan pasir putih terhampar.

Sederhananya, enough with smart book. Please smart talk! Jika diartikan, Cukuplah berteorinya, Berilah contoh nyata!

Karena masyarakat yang ribut di media sosial, kemudian diangkat media massa itu sebetulnya frustasi kurang jalan-jalan! 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini