News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Meninjau Kembali Kebijakan tentang Eliminasi Penularan Penyakit Ibu ke Anak

Editor: Sri Juliati
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi ibu dan anak - Upaya preventif penularan penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV), sifilis, dan Hepatitis B dari ibu ke anak pada saat kehamilan sangat penting dalam konteks kesehatan masyarakat di Indonesia. Mengapa demikian? 

Tidak hanya itu, pemerintah juga perlu melakukan sinergi lintas sektor pada kegiatan promosi kesehatan karena pada kebijakan tersebut lebih fokus pada aspek kesehatan. Dengan pendekatan lintas sektor, pemahaman dan dukungan masyarakat terhadap kebijakan tersebut akan lebih meluas. 

Kampanye pentingnya eliminasi penularan HIV, sifilis dan Hepatitis B dapat dilakukan melalui sektor pendidikan melalui sekolah, ataupun penyuluhan di tempat-tempat ibadah, bahkan sinergi bisa dilakukan dengan lembaga sosial yang saat ini jumlahnya tidak sedikit.

Akses untuk tes HIV, sifilis, dan Hepatitis B maupun pengobatan kasus yang terdeteksi juga masih terbatas terutama di daerah yang minim fasilitas kesehatan. Artinya, pendanaan dan distribusi obat-obatan di fasilitas pelayanan kesehatan primer maupun rujukan perlu ditingkatkan agar tidak menghambat efektivitas kebijakan tersebut. 

PMK Nomor 52 Tahun 2017 menekankan pentingnya deteksi dini untuk pencegahan penularan melalui pemeriksaan darah minimal satu kali selama kehamilan. Namun penanganan lebih lanjut bagi ibu hamil yang terdiagnosis infeksi hanya disebutkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan ada pembagian tugas antara pemerintah pusat dan daerah. 

Realita yang ditemui di masyarakat, banyak ibu hamil positif terinfeksi merasa putus asa karena mendapatkan stigma sehingga cenderung mengabaikan pengobatan lebih lanjut. Dengan demikian, kebijakan ini perlu didukung dengan layanan konseling bagi ibu hamil yang terdeteksi positif, agar mengurangi beban psikososial karena merasa didukung dan pada akhirnya terdorong untuk patuh terhadap pengobatan. 

Selain stigma, diskriminasi bagi ibu hamil maupun anak yang terpapar infeksi virus selalu membayangi kasus positif HIV, sifilis, dan Hepatitis B. Tidak bisa dipungkiri, jika ibu hamil beresiko mengalami ketakutan untuk melakukan tes karena takut menghadapi stigma dan diskriminasi dari masyarakat. 

Oleh karena itu, regulasi yang lebih tegas sangat diperlukan untuk memberikan perlindungan hukum sehingga dapat memastikan tidak ada diskriminasi dalam kehidupan sosialnya serta akses dalam sistem kesehatan, termasuk hak-hak privasinya.

Terakhir yang tidak kalah penting dalam implementasi adalah mekanisme monitoring dan evaluasi sehingga kebijakan tersebut dapat dinilai efektivitasnya. Dengan data-data yang transparan dan sistematis dari hasil monitoring dan evaluasi dapat menunjukkan sejauh mana dampak dari PMK Nomor 52 Tahun 2017 pada penurunan angka penularan HIV, sifilis, dan Hepatitis B dari ibu ke anak sehingga dapat digunakan untuk memperbaiki kebijakan yang telah ada. (*)

lihat foto Lenna Maydianasari, Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sebelas Maret Surakarta; Dosen Universitas Respati Yogyakarta
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini