Komitmen Lindungi Hak Kekayaan Intelektual, Bea Cukai Tangkap Barang Impor Tiruan/Pemalsuan Merek
Mengawali tahun 2020, Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan c.q. Bea Cukai berhasil menangkap barang impor tiruan/pemalsuan merek yang dilakuk
Editor: Content Writer
TRIBUNNEWS.COM, TANJUNG PERAK - Mengawali tahun 2020, Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan c.q. Bea Cukai berhasil menangkap barang impor tiruan/pemalsuan merek yang dilakukan oleh PT PAM di pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Penindakan secara sinergis tersebut dilakukan bersama dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mahkamah Agung, Kepolisian Republik Indonesia, dan Kejaksaaan Agung terhadap satu kontainer yang berisi 858.240 buah ballpoint merek Standard AE7 Alfa Tip 0.5 Made in Indonesia dengan perkiraan nilai barang berkisar Rp1.019.160.000 yang diimpor melalui pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya tanggal 06 Desember 2019.
Meskipun nilai dan jumlah barangnya relatif kecil, namun tangkapan atas Hak Kekayaan Intelektual (HKI) ini merupakan penangkapan sinergis yang dilakukan secara ex-officio yang pertama kali sejak diberlakukannya Undang-Undang nomor 10 tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan karena seluruh perangkat hukum dan sistem border measure HKI telah lengkap.
Perangkat hukum tersebut mulai dari Peraturan Pemerintah nomor 20 tahun 2017, Peraturan Menteri Keuangan nomor 40/PMK.04/2018, sampai dengan Peraturan Mahkamah Agung nomor 06 tahun 2019. Sedangkan sistem border measure HKI tersebut adalah sistem otomasi kepabeanan barang-barang HKI yang menjadikan kegiatan pengawasan HKI lebih optimal karena Bea Cukai, Mahkamah Agung, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dan Pengadilan Niaga telah terintegrasi, sehingga memangkas waktu dan jalur birokrasi lintas Kementerian/Lembaga.
Keberhasilan penangkapan ini juga tidak lepas dari keberanian pemilik/pemegang merek karena yang bersangkutan sebelumnya telah melakukan perekaman/rekordasi dalam sistem otomasi kepabeanan barang-barang HKI, dimana rekordasi ini telah diimplementasikan oleh Bea Cukai sejak 21 Juni 2018 dan sampai saat ini sebanyak 7 merek dan 2 hak cipta telah terekordasi dalam sistem ini. Dengan adanya sistem ini, Bea Cukai dapat segera menotifikasi kepada pemilik/pemegang merek apabila terjadi dugaan importasi/eksportasi barang yang melanggar HKI.
Sebagaimana pada kasus ini, bermula dari analisis transaksi impor yang dilakukan Bea Cukai atas importasi PT PAM yang diduga melanggar HKI, Bea Cukai menotifikasi kepada pemilik merek PT Standardpen Industries (PT SI) karena merek tersebut telah terekam dalam sistem otomasi kepabeanan barang-barang HKI. Kemudian, PT SI memberikan konfirmasi bahwa PT SI setuju dilakukan proses penangguhan sementara ke Pengadilan Niaga untuk dilakukan pemeriksaan bersama terkait keaslian atas merek barang tersebut dengan menyerahkan jaminan bank yang dipersyaratkan ke Bea Cukai Tanjung Perak. Pemeriksaan bersama dilakukan oleh Hakim Pengadilan Niaga, Panitera, Bea Cukai, saksi ahli, pemohon (PT SI), dan termohon (PT PAM). Hasil pemeriksaan bersama tersebut digunakan sebagai dasar untuk memutuskan asli tidaknya merek tersebut melalui proses Pengadilan Niaga.
PT SI selaku pemilik/pemegang merek dapat menempuh tiga pilihan tindak lanjut yaitu pertama, dengan melaporkan tindakan pelanggaran merek HKI ke PPNS Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual atau Penyidik Kepolisian Republik Indonesia sesuai sanksi pasal 99 UU Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2 Miliar. Kedua, penyelesaian secara perdata dengan melaporkan ke Pengadilan Niaga Surabaya, dan ketiga dengan penyelesaian secara alternative dispute resolution antara pemilik/pemegang merek dengan importir atau pelaku pelanggaran HKI.
PT SI merupakan industri dalam negeri yang memproduksi ballpoint merek Standard AE7. Dengan adanya pemalsuan merek ini, yang bersangkutan tidak hanya mengalami kerugian secara materiil saja namun juga mengalami kerugian non materiil yang lebih besar. Diantaranya, turunnya kepercayaan konsumen karena banyaknya keluhan akibat kualitas buruk dari adanya produk palsu tersebut, disamping biaya promosi terus bertambah setiap tahunnya untuk membangun dan mempertahankan citra perusahaan.
Selain itu, pangsa pasar juga rusak akibat pelanggan/toko-toko mendapat harga yang lebih murah dari pemalsu merek dan jumlah tenaga kerja berkurang karena kapasitas produksi turun, yang pada akhirnya rencana investasi pengembangan perusahaan di masa depan menjadi tidak pasti.
Oleh karenanya, penindakan atas barang impor/ekspor yang melanggar HKI sangat penting dalam melindungi industri dalam negeri terutama pemilik/pemegang merek/hak cipta maupun industri kreatif dalam negeri agar dapat tumbuh dan memiliki daya saing sehingga dapat berkontribusi kepada negara melalui pembayaran pajak. Tidak hanya bagi sektor industri, pemalsuan HKI juga berdampak buruk bagi kesehatan konsumen (contoh: obat dan kosmetik palsu) dan keselamatan konsumen (contoh: sparepart palsu) bahkan dapat dijadikan sebagai sumber pendanaan bagi kejahatan terorganisir dan terorisme.
Selain itu, hal ini juga membuktikan bahwa Indonesia sangat concern terhadap perlindungan HKI sehingga diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan dunia internasional dan menambah poin Indonesia agar dapat dikeluarkan dari priority watch list United States Trade Representative (USTR) untuk isu perlindungan HKI.
Sinergitas antar Kementerian/Lembaga dan aparat penegak hukum mutlak diperlukan untuk membuktikan keseriusan pemerintah dalam perlindungan HKI, termasuk peran serta aktif dan kesadaran masyarakat khususnya pemilik/pemegang merek/hak cipta untuk melakukan rekordasi merek/hak cipta ke Bea Cukai, sehingga tindakan secara ex-officio dapat segera dilakukan tanpa harus menyampaikan aduan. (NFM*)