China Tanam Rp 11,7 T di Proyek Jalur KA Sumsel-Lampung
Tuan rumah mendapatkan proyek riil yang akan dimulai bulan depan, bekerja sama dengan lembaga keuangan dan investor asal negeri Tirai Bambu
Penulis: Nurfahmi Budi
Editor: Yudie Thirzano
TRIBUNNEWS.COM, NUSA DUA - Potensi ekonomi Indonesia yang makin bagus dalam setahun terakhir membuat banyak orang berlomba-lomba untuk menanamkan investasi. Di ajang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-19 ASEAN, terdapat pertemuan penting yang membahas hubungan investasi China di Indonesia. Tuan rumah mendapatkan proyek riil yang akan dimulai bulan depan, bekerja sama dengan lembaga keuangan dan investor asal negeri Tirai Bambu tersebut.
Kali ini kawasan Sumatera, khususnya lajur Sumatera Selatan dan provinsi Lampung mendapat berkah dengan terealisasinya kesepakatan pendanaan antara PT Bukit Asam Transpacific Railways dengan China Development Bank (CDB) dan China Railways Group Limited (CRGL). Proses penandatanganan kesepakatan pengucuran dana dan pengerjaan proyek mulai bulan depan tersebut dilakukan, Jumat (18/11/2011) pagi, di Hotel Westin, Bali Tourism Development Centre (BTDC).
Proses tersebut menandai bakal dibangunnya rel kereta api khusus untuk angkutan batubara yang akan menghubungkan Tanjung Enim di Provinsi Sumatera Selatan dengan Bandar Lampung, di provinsi Lampung. Total investasi yang dikucurkan sebesar 1,3 miliar dolar AS atau lebih dari Rp 11,7 triliun.
Nantinya, program ini diprediksi akan memberikan efek positif pada terbukanya lapangan pekerjaan di kawasan yang dilewati. Rel kereta api sepanjang 300 kilometer tersebut akan melewati delapan kabupaten, satu kota dan dua provinsi.
"Tentu saja ini akan memberikan efek luar biasa bagi Sumatera Selatan dan Lampung, terutama dari kota-kota yang kami lewati. Kami membentuk rel ini lurus, sehingga tidak menyulitkan bagi siapapun, dan kami akan memberi manfaat maksimal bagi masyarakat sekitar," tukas Rudiantara, Direktur Utama Bukit Asam Transpacific Railways (BATR).
Ia yakin, proyek ini menjadi pioner dari transaksi riil sepanjang KTT ke-19 ASEAN ini, dibanding hanya sekedar konsep dan brainstorming yang dilakukan di dalam ruangan, yang belum tentu menjadi kenyataan. "Adanya penandatanganan ini, kami memiliki kepastian sumber pendanaan bagi proyek infrastruktur yang menjadi bagian dari Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekoomi (MP3I)," imbuh Rudiantara.
Proyek ini sebenarnya sudah mendapat ijin prinsip perkeretaapian khusus dari Menteri Perhubungan serta telah melakukan pilot project pembebasan tanah. Penandatanganan sendiri sudah berlangsung sejak tahun 2005, lalu menyelesaikan studi analisa semua sektor pada tahun 2006 dan 2007, dan seharusnya sudah siap untuk beroperasi. Namun semuanya terhenti karena Undang-Undang Perkeretapian baru muncul tahun 2008 dan Peraturan Pemerintah baru pada September 2009. "Jadi bukan berarti proyek ini berhenti, melainkan menunggu latar belakang peraturan perundangan, yang tentunya tidak bisa kami kesampingkan begitu saja," tegas Rudiantara.
Proyek ini sendiri bersifat terintegrasi mulai dari tambang batubara, infrastruktur transportasi kereta api hingga logistik pelabuhan. Pengelolaan rel kereta api dan pelabuhan, akan dibangun dan dioperasikan oleh BATR. Nama terakhir adalah perusahaan patungan antara Grup Rajawali melalui anak perusahaannya Rajawali Asia Resources yang menguasai saham 90 persen, PT Bukit Asam Tbk (10 persen) dan China Railway Group Limited, dengan hak opsi kepemilikan mencapai 10 persen.
Sementara untuk mengelola pertambangan batubara diserahkan pada Bukit Asam Batubara, yang juga patungan antara PT Bukti Asam Tbk (65 persen) dan Rajawali Asia Resources (35 persen). "Proyek ini akan menghasilkan produksi batubara rata-rata 25 juta ton per tahun selama 20 tahun ke depan, yang akan diangkut BATR, dan direncanakan bisa beroperasi pada tahun 2016," tukas Rudiantara.
Sementara Chen Jianying, Chief Planning Officer CDB, menegaskan, mereka sudah menyiapkan dana sesuai permintaan yakni 1,3 miliar dolar AS atau sekitar Rp 11,7 triliun (kurs Rp 9.000). "Dan itu kami berikan berdasarkan rasio pendanaan utang berbanding ekuitas 60:30. Kondisi ini membuat kami optimis bisa memberikan yang terbaik bagi Indonesia, dan menambah daya saing Indonesia," sebutnya.