Menkeu Ditantang Berani Atasi Pelemahan Rupiah
Rupiah berpotensi terus bergerak liar dimana akan terus terjadi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Penulis: Hasanudin Aco
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rupiah berpotensi terus bergerak liar dimana akan terus terjadi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
"Karena market tidak melihat ada kebijakan yang sinergis dan komprehensif antara kebijakan fiskal dan moneter," kata Anggota Komisi XI DPR RI Arif Budimanta kepada Tribunnews.com, Selasa (20/8/2013).
Dalam konteks ini, Arif mengatakan kedepan beban BI akan semakin menumpuk yang ditunjukkan oleh cadangan devisa yang semakin tergerus apabila pengendalian nilai tukar hanya diandalkan kepada BI semata.
Dimana defisit neraca perdagangan Indonesia yang melebar mencapai 4,4% terhadap GDP pada kuartal II (Q1 : 2,4%), adalah terbesar dalam sejarah.
"Defisit perdagangan berlangsung karena fokus usaha pemerintah untuk supporting dengan fiskal terhadap industri bahan baku/hulu masih belum menarik, serta perlakuan terhadap eksportir belum memberikan gairah/untuk menguber devisa eksport," kata Arif.
Dijelaskan pelemahan mata uang rupiah adalah yang terdalam dibandingkan mata uang lain dalam kawasan regional asean.
"Pelemahan ini akan terus bergerak apabila tidak ada perbaikan salah satunya terhadap neraca perdagangan, pelemahan nilai komoditi dan ekspor, dan meningkatnya impor dari waktu ke waktu adalah data riil yang menggambarkan bahwa pemerintah gagal dalam menggenjot produktivitas nasional untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri," kata Arif.
Sedangkan di sisi lain, kata Arif, laju pertumbuhan kita dari waktu kewaktu sampai saat ini selalu bertumbu kepada komsumsi.
"Akibatnya Inflasi yang seharusnya musiman bisa menjadi permanen apabila tidak dikendalikan. Hal tersebut bisa menjadi kenaikan biaya hidup," kata Arif.
Untuk itu, lanjut Arif, maka langkah-langkah fundamental dan struktural dapat dipertimbangkan untuk dilakukan.
"Rupiah harus dikendalikan bukan dengan mengerem kredit karena bisa berdampk pada pertumbuhan. Tapi harus bisa mengatur cash flow nasional dengan mengajak pelaku ekonomi duduk bersama," kata Arif.
Dijelaskan BI dapat mempertimbangkan melakukan relaksasi ketentuan-ketentuan terkait pendalaman pasar valas (seperti Pinjaman Komersial LN bank, hedging, dan lainnya) dalam rangka menarik capital inflows.
Mengaktifkan instrumen FX Swap sebagai fasilitas hedging untuk dana asing yang akan diinvestasikan di pasar rupiah domestik.
"Ekspor harus didorong dan impor harus dikendalikan. Produksi nasional harus ditingkatkan. Termasuk produksi sektor pertanian, industri perkapalan dan sektor kelautan. Agar impor pangan dan defisit neraca jasa bisa turun," kata Arif.
Direktur Eksekutif Mega Institute ini menjelaskan kebutuhan fiskal Pemerintah perlu untuk mendorong ekspor, misalnya dengan menurunkan pajak ekspor, dan juga harus ada promosi perdagangan yang agresif untuk mendorong ekspor. Untuk kendalikan impor, bisa menaikkan pajak impor barang mewah. Iklim investasi perlu diperbaiki dan PMA perlu didorong.
"Perlu strategi pengembangan industri dan produksi national, khususnya industri menengah dan kecil. Untuk penciptaan lapangan kerja, realisasi anggaran dan implementasi program pedesaan, UMKM, dan sosial perlu dipercepat," kata dia.
Dalam hal ini maka, menurut Arif, Menkeu harus lebih bernyali, jangan kebingungan mencari-cari alasan, karena pasar ingin melihat sinyal yang fundamental dalam arah kebijakan fiskal khususnya untuk kebijakan fiscal yang terkait dengan perdagangan dan Industri.