Pengembalian Lahan Gambut di Aceh Harus Perhatikan Perusahaan Perkebunan
harus pula memperhatikan perusahaan perkebunan yang telah mempunyai izin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Upaya pengembalian lahan gambut Tripa di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) harus pula memperhatikan perusahaan perkebunan yang telah mempunyai izin.
"Untuk di lahan Tripa, kita juga tidak hanya mementingkan aspek lingkungannya saja, namun juga harus memperhatikan aspek ekonomi dan sosial dari pengelolaan lahan ini," ujar Ahli Gambut dari Universitas Riau, Wawan, dalam pernyataannya, Kamis(26/12/2013).
Artinya, kata Wawan upaya tersebut harus memberikan hasil secara ekonomi dengan tidak melupakan aspek sosial dan lingkungannya. Ketiga elemen itu harus berjalan seimbang, karena tidak bisa hanya mementingkan salah satu faktor saja.
"Harus seimbang, apalah artinya pengembangan lingkungannya jika tidak memberikan dampak sosial dan ekonomi," ucap Wawan.
Caranya, lanjut Wawan kalau lahan itu dekelola secara baik, pasti semua fungsi berjalan beriringan, baik dari sisi lingkungan, ekonomi, dan sosial.
Memang untuk lahan gambut dalam pengelolaannya harus dilihat secara komprehensif dan diperlakukan khusus demi menjadikannya tetap sebagai daerah simpanan air, kabron, biodifersity, dan sebagainya.
"Ini enggak boleh ditinggalkan. Contohnya, di luar kubah gambut bisa dimanfaatkan untuk tanaman pangan dan lainnya dan tidak bicara gambut 3 meter dan seterusnya. Yang penting, bagaimana air itu bisa masuk, tinggi muka air sesuai tinggi akar tanaman, kalau terlalu bawah, maka yang rugi kita semua," ujarnya.
Menurut Wawan, kunci dari pengelolaan lahan gambut itu sangat tergantung pada tata kelola air atau water management. Kemudian, lahan gambut ini kerap dikatakan, bahwa merupakan lahan miskin, namun hal itu harus diubah.
"Kunci dari lahan gambut ini adalah water management. Kata orang tanah gambut itu miskin, tapi kita harus melakukan riset untuk menjadkan lahan ini subur dengan memberikan nutrien dan menemukan tanaman adaptif. Artinya diberikan kapur, abu, pupuk, dan sebagainya yang akan merangsang biota tanah. Ada emiora, turunkan emisi, tanah tua sudah kaya oksida, almunium," ujarnya.
Sedangkan perusahaan perkebunan yang telah mengantongi izin di wilayah tersebut, tetap diberikan atas haknya di sana dengan syarat tidak mengganggu kubah utama gambut dan menyediakan minimal 30 persen luas lahannya untuk konservasi, simpanan air, dan karbon.
"Kalau ini dikelola dengan baik, ini bisa. Kuncinya pada water management dan nutrien management. Kemudian kita klembangkan tanaman adaptif, mungkin tanaman pangan," ujarnya.
Ketentuan itu demi menjaga keseimbangan alam di wilayah tersebut agar tidak hanya dinikmati generasi saat ini, namun harus menjaganya demi anak cucu dan generasi selanjutnya.
"Kembali kepada sumber daya alam yang kita miliki yang diberikan Tuhan, pengelolaannya harus memperhatikan lingkungan dan tidak hanya untuk dinikmati oleh generasi sekarang, namun juga untuk anak cucu dan generasi mendatang," ujar Wawan.
Sebelumnya, Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf di akhir masa jabatannya mengeluarkan Izin Alih Fungsi Lahan Gambut Tripa kepada pihak perkebunan, sehingga perusahaan bisa beroperasi di wilayah itu.
Upaya pemerintah mengembalikan Rawa Tripa terus digaungkan. Bahkan, Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) telah kembali memoratorium pengelolaan dan pemanfaatan kawasan Rawa Tripa.
Wawan menegaskan, meski memang upaya pemerintah mengembalikan konservasi merupakan langkah positif, namun perusahaan yang telah diberikan izin dan mengeluarkan dana untuk mengurus izin dan membuka kebun juga patut diapresiasi agar tidak hanya menjadi korban dan menderita kerugian besar.
Terkait hal itu, Kepala UKP4 dan Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan Kuntoro Mangkusubroto medio Juli 2012 lalu, telah mengajukan 6 aspek yang diajukan kepada para otoritas di Aceh. Pada poin empat disebutkan, menyusun rencana perlindungan dan pengelolaan komprehensif di kawasan Rawa Tripa hingga ditemukan win-win solution antara kepentingan konservasi, ekonomi, dan sosial.
Sebagai contoh, kegiatan perkebunan yang ada di sana dihentikan dan diberikan tanah pengganti di daerah lain yang lebih sesuai (land swap). Atau tetap di sana dengan mengubah konsep bisnis menjadi restorasi ekosistem.
"Misal, mengganti sawit dengan ramin atau jelutung yang sesuai ekosistem rawa gambut," kata Kuntoro.