Herbal Lokal Belum Bisa Masuk Pasar ASEAN
Herbal kini tengah menjadi tren dunia. Di Indonesia, sumber dayanya sangat besar untuk masuk ke pasar tersebut
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, BANDUNG - Herbal kini tengah menjadi tren dunia. Di Indonesia, sumber dayanya sangat besar dan untuk masuk ke pasar tersebut, hanya saja perlu dikembangkan dan banyak terbentur kendala di penelitiannya.
Hal ini dinyatakan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Roy Sparringa.
"Contohnya ada jamu, temulawak dan lain-lainnya. Potensi ekonominya sangat luar biasa. Hanya saja penelitian di kita itu masih di ujung. Ini yang perlu dipikirkan," ujar Roy seusai Seminar Obat untuk Rakyat di Aula Barat Institut Teknologi Bandung (ITB), Selasa (15/4).
Yang dimaksud Roy dengan penelitian masih di ujung, yakni penelitian mengenai pangan fungsional masih sebatas permukaan dan belum didalami. Hal ini menyebabkan penelitian-penelitian tersebut belum berguna untuk dikembangkan dari sisi ekonomi, baik oleh industri maupun usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
"Maka dari itu, kami ingin kerja sama lintas sektor dan juga memberikan insentif kepada UMKM yang banyak membuat herbal," kata Roy.
Jamu dan kosmetik Indonesia, kata Roy, belum bisa masuk ke pasar ASEAN karena terkendala di daftar herbal yang berlaku internasional. Menurut mata internasional, karakteristik keamanan masih dipertanyakan. Perlu ada kajian keamanan, sehingga produk-produk tersebut bisa masuk pasar global. Roy mengatakan pihaknya sudah ada kerja sama dengan ITB, UGM dan Unair dalam hal pengkajian.
"Kami ingin ada semacam konsorsium, di dalamnya ada BARU yaitu pihak Bisnis, Akademisi, Regulator dan User. User ini termasuk masyarakat," ujar Roy.
Konsorsium ini menjadi sarana komunikasi agar kajian terhadap suatu jenis herbal tidak terduplikasi. Selama ini, banyak penelitian akademisi yang hanya mengulang topik sama tanpa ada pendalaman. Selain itu, tak semua kajian ternyata berguna untuk masyarakat maupun dunia usaha, sehingga penting untuk dilempar terlebih dulu dalam sebuah forum. Suara dari regulator juga dibutuhkan, agar hasil suatu produk herbal memenuhi persyaratan.
Sementara itu dari hasil audit kinerja Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) terhadap Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), ternyata banyak faktor yang menyebabkan masih tingginya harga obat kimia di Indonesia. Salah satunya kurangnya industri hulu yang memproduksi bahan baku, sehingga bahan baku pembuatan obat harus impor.
Menurut anggota BPK RI, Rizal Djalil, audit kinerja ini penting untuk perbaikan suatu instansi ke depannya.
"Selain kendala bahan baku, terungkap juga bahwa persoalan biaya produksi dan biaya promosi terlalu besar menyebabkan harga obat jadi mahal," ujar Rizal di acara yang sama.
Rizal mengatakan diperlukan kebijakan mengenai industri dasar dan hulu untuk menyiapkan bahan baku. "Untuk mendorong industri farmasi bisa maju, perlu insentif pajak dan perhatian pemerintahan. Ini kan perlu kebijakan nasional," kata Rizal.
Temuan BPK RI, proses penyelesaian registrasi obat yang tidak tepat waktu di BPOM berpengaruh hingga 20 persen terhadap harga jual obat. Ini berlaku di 33 industri farmasi yang dikunjungi BPK RI. (feb)