Proyek Pelabuhan Cilamaya Ancam APBN
Pembangunan Pelabuhan Cilamaya di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, berpotensi mengancam APBN.
Penulis: Sanusi
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembangunan Pelabuhan Cilamaya di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, berpotensi mengancam APBN, karena operasi dan produksi Blok Offshore North West Java (Blok ONWJ) di lepas pantai di kabupaten itu harus ditutup.
Jika pembangunan pelabuhan baru itu direalisasikan, APBN terancam jebol akibat makin berkurangnya produksi minyak dan gas (migas).
Kekhawatiran itu disampaikan pengamat energi dan ekonom Darmawan Prasodjo.
"Karena itu, pembangunan Pelabuhan Cilamaya perlu dipertimbangkan lagi," ujarnya, Selasa (19/8/2014).
Menurut Darmawan, pembangunan Pelabuhan Cilamaya akan mengurangi produksi migas nasional akibat Blok ONWJ harus ditutup. Sebab, jalur pelayaran dari dan menuju pelabuhan tersebut akan mengganggu pipa gas PT Pertamina EP yang memasok gas untuk industri di Jawa Barat dan Bus TransJakarta, serta pembangkit listrik Muara Karang dan Tanjung Priok di Jakarta. Jika pemerintah tetap ngotot membangun pelabuhan di Cilamaya, maka mau tidak mau harus negara menambah impor migas. Tentu hal itu berimplikasi membengkaknya APBN.
Atas alasan itu, tegas Darmawan, pemerintah harus mengkaji ulang pembangunan pelabuhan yang berlokasi di Kecamatan Tempuran, Karawang tersebut.
"Bahwa lokasinya kebetulan di dekat kawasan industri, namun jalur pelayarannya akan melewati anjungan lepas pantai. Banyak sekali pipa di dasar laut yang berpotensi terganggu," ujarnya.
Ia menyarankan agar lokasi pelabuhan dipindahkan ke tempat lain yang tidak mengganggu keberlangsungan salah satu industri terpenting, sehingga tercapai win-win solution.
Darmawan mengatakan, harusnya pembangunan sektor transportasi dan industri tidak mematikan sektor energi (minyak dan gas), atau pun sebaliknya. Sebab, kedua sektor itu sama pentingnya, terlebih minyak dan gas.
"Ini membuktikan bahwa perencanaan pembangunan tidak berjalan terintegrasi, sehingga pembangunan di sektor yang satu mematikan sektor lain. Ini kan bagian dari satu rancangan, yang seharusnya terintegrasi dan saling berkomunikasi lintas sektoral dari awal, sehingga tidak terjadi perencanaan pembangunan, apapun namanya, tanpa konsultasi dengan stakeholder di sektor lain. Inilah egoisme sektoral," tuturnya.
Pengamat geopolitik dan ekonomi Dirgo W Purbo sempat menyebutkan, bahwa menurunnya produksi migas akan memaksa Indonesia harus menambah impor, terlebih saat ini produksi nasional hanya mencapai 780 ribu barrel per hari.
"Saat ini jumlah produksi minyak nasional hanya 780 ribu barrel per hari, tidak sampai 800 ribu barrel. Padahal target produksi/lifting minyak bumi Indonesia harusnya mencapai 1 juta barrel per hari," ujarnya.