Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Kasus Bioremediasi: Yurisprudensi Baru, Kredit Macet Bisa Dipidana Korupsi

Putusan MA yang mengabulkan tuntutan jaksa soal korupsi dalam proyek bioremediasi bakal menjadi yurisprudensi baru yang berbahaya

Penulis: Sanusi
zoom-in Kasus Bioremediasi: Yurisprudensi Baru, Kredit Macet Bisa Dipidana Korupsi
Warta Kota/Henry Lopulalan/henry lopulalan
Terdakwa kasus Bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia, Kukuh Kertasafari (baju batik coklat) selesai pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor, Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (17/7/2013). Majelis Hakim menjatuhkan vonis kepada Kukuh yang merupakan ketua tim penanganan isu sosial lingkungan Sumatera Light South (SLS) Minas PT Chevron Pacific Indonesia tersebut dengan hukuman dua tahun penjara serta denda Rp.100 juta subsider tiga bulan penjara terkait proyek normalisasi lahan tercemar minyak menggunakan bantuan mikroorganisme (bioremediasi) di Riau pada 2006-2011. (Warta Kota/Henry Lopulalan) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan tuntutan jaksa soal korupsi dalam proyek bioremediasi dinilai bakal menjadi yurisprudensi baru yang berbahaya.

Pemerhati hukum kontrak PSC Najib Ali Gisymar menyatakan bahwa putusan MA di tingkat kasasi untuk Ricksy Prematuri (Direktur PT Green Planet Indonesia/GPI) dan Herland Bin Ompo (Direktur PT Sumi Gita Jaya/SGJ), keduanya merupakan rekanan Chevron, bakal menjadi yurisprudensi baru yang berbahaya.

“Apabila putusan MA ini dibiarkan menjadi yurisprudensi baru maka akan terjadi kekacauan luar biasa dalam penerapan hukum di Indonesia. Siapapun yang melakukan tindakan-tindakan yang meskipun diatur jelas oleh undang-undang tertentu namun jika tindakannya dianggap berpotensi merugikan negara, maka dapat dipidana korupsi, misalnya kredit macet di bank BUMN atau BUMD pun bisa dipidana korupsi," jelas Najib, Senin (6/10/2014).

Dia menambahkan bahkan orang yang telat bayar tagihan hutang ke bank pemerintah bisa diancam pidana korupsi karena tindakan itu dianggap bisa berpotensi merugikan negara.

“Jika tidak ada upaya hukum lainnya seperti Peninjauan Kembali (PK) maka maling uang di ATM bank milik pemerintah, maling motor pelat merah, maling bak sampah milik Pemkot bisa dipidana korupsi bukan lagi maling tapi koruptor. Pemerintah dan presiden harus turun tangan karena ini bukan sekedar kasus hukum tapi persoalan kepastian dan kejelasan hukum dalam sebuah negara,” tuturnya.

Najib menyatakan bahwa kedua kontraktor Chevron ini hanyalah berkontrak secara perdata dengan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dan tidak memiliki hubungan apapun dengan pemerintah.

Menurutnya, tidak mungkin mereka (Ricksy dan Herland) bisa dituduh berbuat kriminal apalagi korupsi sementara CPI tidak pernah mengeluh atas kinerja kedua kontraktornya tersebut.

BERITA REKOMENDASI

“Urusan kontrak keduanya dengan CPI baik-baik saja, kok malah orang lain yang ribut. Ini tidak sejalan dengan prinsip yang diatur hukum perdata,” tegas Najib.

Menurut Najib, dirinya sangat sependapat dengan dissenting opinion Hakim Agung Leopold dalam kasus Ricksy yang menyatakan bahwa telah terjadi lompatan-lompatan logika yang menyimpang dari asas-asas hukum perdata sebagai acuan dalam memeriksa perkara proyek bioremediasi ini.

“Selain itu, sesuai fakta sidang Edison Effendi sebagai ahli pun sangat patut diduga memiliki konflik kepentingan karena dia saksi fakta dan sekaligus saksi ahli, plus pihak yang pernah kalah tender,” lanjutnya.

Sementara itu, pakar hukum lingkungan Linda Yanti Sulistiawati menilai bahwa UU Lingkungan mestinya yang dipakai untuk mendakwa karena subyek yang didakwakan terkait peraturan di bidang lingkungan.

“Dakwaan terhadap keduanya dalam kasus ini terkait izin pengolahan limbah dan teknis pengerjaan bioremediasi serta dipakainya hasil pengujian atas sampel tanah yang dilakukan oleh jaksa yang semuanya terkait dengan peraturan dan undang-undang di bidang lingkungan. Jadi semestinya kasus ini diselesaikan dengan hukum yang diatur dalam UU Lingkungan tersebut,” ujar Linda dalam wawancara hari ini.


Menurut Linda, jika sebuah tindakan dianggap melanggar suatu Undang-Undang apalagi yang bersifat khusus seperti UU Lingkungan, maka penegak hukum semestinya secara konsisten menggunakan UU tersebut untuk mengadili perkara yang dimaksud.

Apabila kemudian perkara tersebut memiliki keterkaitan dengan UU lain maka menurut Linda, perlu dipastikan juga apakah UU lain tadi memang menjadi dominan untuk mengadilinya.

“Jika penegak hukum berkesimpulan bahwa proyek bioremediasi tidak perlu dilakukan sehingga dianggap “proyek fiktif” atas dalih telah melanggar Keputusan Menteri Lingkungan Hidup soal teknik bioremediasi dan Peraturan Pemerintah di bidang lingkungan terkait izin pengolahan limbah. Maka mengingat kedua aturan itu berada di wilayah UU Lingkungan maka semestinya UU lingkungan yang dipakai.”

“Saya heran apabila UU Tipikor yang digunakan oleh MA untuk mendakwa dan memvonis dalam kasus ini karena kedua kontraktor ini hanya memiliki hubungan kontraktual dengan Chevron bukan dengan pemerintah dan bukan menggunakan uang pemerintah,” ujar Linda.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas