Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Ratifikasi FCTC Sama Saja Membunuh Petani

Presiden SBY pernah berjanji tidak akan mengaksesi FCTC di hadapan petani tembakau saat menghadap di istana pada April 2014 lalu

Penulis: Sanusi
zoom-in Ratifikasi FCTC Sama Saja Membunuh Petani
TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN
Pekerja mengiris dan mengemas tembakau siap pakai di pabrik tembakau iris Padud Jaya di Lingkungan Jelat, Kelurahan Pataruman, Kecamatan Pataruman, Kota Banjar, Jawa Barat, Selasa (27/8/2013). Tembakau yang berasal dari Lombok, Madura, Sumedang, Garut dan tempat lainnya tersebut dikemas di pabrik ini mulai dari kemasan 25 gram hingga 100 gram dengan harga jual mulai Rp 1.500 - Rp 10.000 per bungkus. Pabrik yang dikelola sudah tiga generasi sejak 1960-an itu memasarkan produknya ke sejumlah kota di pulau Jawa dan luar Jawa dengan rata-rata produksi 50 ton per bulan. TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti senior pada lembaga Masyarakat Pemangku Kepentingan Kretek Indonesia (MPKKI) Prof Kabul Santoso meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk tidak mudah terpengaruh oleh sindiran kalangan tertentu yang memaksa agar segera mengaksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

“Jangan hanya karena disindir Indonesia tidak mengaksesi FCTC, lalu pemerintah memaksakan kehendaknya untuk membunuh petani dan industri tembakau yang selama ini menjadi sumber penghasilan masyarakat dan negara,” tegasnya, Selasa (14/10/2014).

MPKKI berharap di akhir masa pemerintahannya, Presiden SBY memberikan warisan berharga dengan tidak mengaksesi FCTC. Sikap Presiden SBY bila menolak meneken FCTC itu merupakan wujud perlindungan terhadap keberlangsungan industri nasional tembakau dari hulu ke hilir.

Indonesia, menurut Kabul, belum siap meratifikasi FCTC. Ratifikasi tidak hanya berdampak pada petani tembakau, namun juga bakal merontokkan industri rokok kretek nasional. Padahal, industri ini menyerap jutaan tenaga kerja. Belum lagi tenaga kerja di bisnis yang mendukung pertanian tembakau dan industri rokok kreteknya.

Lebih lanjut Kabul mengingatkan, Presiden SBY pernah berjanji tidak akan mengaksesi FCTC di hadapan petani tembakau saat menghadap di istana pada April 2014 lalu. Dalam pembukaan Pekan Nasional (Penas) Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) di Malang, Jawa Timur, Juni lalu, melalui Menteri Sekretaris Kabinet Dipo Alam, SBY kembali menegaskan tidak akan gegabah menandatangani FCTC.

“Karena menyangkut nasib jutaan petani, pekerja industri rokok maupun industri pendukung lain, kita tidak akan ratifikasi sampai petani mempunyai capacity building yang kuat,” ujar Dipo, waktu itu.

Studi lapangan MPKKI ke beberapa negara penghasil tembakau, antara lain Jerman, Amerika Serikat (AS), Jepang, dan Tiongkok menunjukkan keberpihakan pemerintah negara-negara tersebut terhadap industri tembakau nasional.

Berita Rekomendasi

Empat negara tersebut memiliki UU sendiri yang mengatur pertembakauan. Khusus kasus di Tiongkok, dengan jumlah perokok mencapai 390-an juta lebih, meskipun China akhirnya mengaksesi FCTC, tetapi keberpihakan pemerintah melindungi industri rokok dalam negerinya sangat baik.

Bedanya, menurut Kabul, meskipun Tiongkok mengaksesi FCTC, Tiongkok tidak memiliki produk rokok beraroma seperti kretek, yang dilarang dalam Guidelines FCTC. Bahkan, AS sampai hari ini tidak mengaksesi FCTC. AS dan Swiss hanya tanda tangan FCTC, tetapi tidak meratifikasi.

Kabul berpendapat, industri tembakau nasional adalah industri yang mempekerjakan banyak orang. Semangat pembangunan Presiden SBY "pro poor, pro job, and pro growth". Tetapi di lain sisi, pemerintah membunuh keberlangsungan industri nasional bidang tembakau lewat regulasi, salah satunya tampak jelas di Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembagai Bagi Kesehatan.

Guru Besar Emeritus Universitas Jember ini mempertanyakan kesiapan pemerintah terhadap dampak ekonomi sosial bila negara ngotot mengaksesi FCTC. “Apakah pemerintah siap dengan dampak ekonomi sosialnya? Apakah pemerintah mampu menyediakan lapangan pekerjaan untuk sumber daya manusia yang banyak?” tanyanya.

“Selain itu, rokok kretek di Indonesia sudah menjadi trademark. Di dunia ini, kretek hanya ada di Indonesia. Seharusnya, kretek justu dilestarikan seperti halnya cerutu Kuba,” kata mantan Rektor Universitas Negeri (Unej) Jember ini.

MPKKI berpandangan industri nasional bidang tembakau yang ada di Indonesia masih memerlukan pertanian dan industri tembakau sebagai produk yang harus dipertahankan. Untuk itu pemerintah mutlak melindungi keberlangsungan industri vnasional melalui regulasi.

Data MPKKI menyebutkan, di Indonesia terdapat 20 daerah sentra penghasil tembakau di mana masyarakat masih banyak yang membutuhkan sebagai sumber penghidupan mereka. Fakta ini harus dibarengi adanya serapan industri untuk bahan baku industri rokok.

Menurut Kabul, konstitusi kita sudah mengatur secara tegas sebagaimana dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat 4 yang menyebutkan perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan, kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

“Agak aneh Indonesia sebagai produsen kretek dengan produk sangat khas dibunuh sendiri oleh pemerintah melalui berbagai regulasi, di antaranya PP 109/2012, Permenkes 28/2013, peraturan tentang cukai rokok” ujarnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas