Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Kadin: Pebisnis Keluhkan Praktik Pemerasan di Daerah

maraknya praktik pemerasan dalam otonomi daerah membuat pebisnis menghadapi pilihan sulit dalam menjalankan bisnisnya di daerah.

Penulis: Sanusi
zoom-in Kadin: Pebisnis Keluhkan Praktik Pemerasan di Daerah
net
ilustrasi 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hukum dan Advokasi, Rudy Siregar, mengatakan maraknya praktik pemerasan dalam otonomi daerah membuat pebisnis menghadapi pilihan sulit dalam menjalankan bisnisnya di daerah.

Salah satu ancaman dari berbisnis di daerah yaitu risiko diperas oleh kepala daerah dan dianggap melakukan penyuapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), atau main di jalur jujur dengan risiko bisnis tidak jalan.

"Pemerasan makin sering terjadi saat pilkada, kepala daerah yang tidak memiliki modal kuat rentan menyalahgunakan kekuasaannya untuk memeras pebisnis. Kalau tidak diberi uang, bisa jadi izin usaha pebisnis ditarik, dipersulit, pokoknya seperti premanisme lah," kata Rudy Siregar, Kamis (9/4/2015).

Rudi mencontohkan salah satu praktik bisnis yang tidak sehat di daerah yaitu kasus penyuapan Direktur PT Media Karya Sentosa kepada mantan Bupati Bangkalan, Fuad Amim Imran.

Hal serupa juga pernah terjadi dalam kasus Siti Hartati Murdaya yang diduga menyuap Bupati Buol Amran Batipilu pada tahun 2013.

Menurut Rudi, penangkapan pengusaha yang diperas oleh penguasa di daerah tidak boleh dianggap enteng dampaknya bagi iklim investasi di Indonesia, ada fenomena dimana pebisnis dikriminalisasi oleh sistem yang ada. Kalau tidak bayar fee bisnis tidak jalan, kalau dibayar, nanti ditangkap KPK. semua jadi serba salah.

"Jika memang perlu ada fee untuk berbisnis, ya sudah tuangkan saja ke UU, biar aturan main jelas," katanya.

Berita Rekomendasi

Rudi juga mengatakan, salah satu kendala utama dalam berinvestasi di daerah adalah ekonomi berbiaya tinggi. Fenomena yang lazim dijumpai di Indonesia adalah praktik pungli (pungutan liar). Sudah menjadi rahasia umum bahwa peraturan di atas kertas dan praktik hasilnya bisa berbeda.

Jika pada masa orde baru korupsi berpusat pada lingkaran elite rezim pemerintah, maka di era reformasi praktik korupsi ini malah terdesentralisasi, menyebar ke daerah. Empat belas tahun setelah tumbangnya rezim orde baru, Indonesia justru mendapat musuh baru, yakni pemerintahnya sendiri. Pemerintah menjadi musuh terbesar masyarakat karena tidak adanya sistem check and balance yang tidak bekerja dengan baik.

Rudi menuturkan, euforia demokrasi tidak diiringi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia di pemerintahan. Menjadi kepala daerah tidak dipandang sebagai pelayan publik, tapi sebagai jalan menuju kekuasaan dan mempertebal kantong pribadi.

"Apa yang terjadi kemudian? Para kepala daerah dengan mentalitas koruptor ini lantas menyalahgunakan kekuasaan mereka. Praktik pungli menjadi lazim dan mengakibatkan ekonomi berbiaya tinggi. Daerah-daerah di indonesia umumnya memiliki potensi sumber daya alam sehingga investasi yang diperlukan tidak sedikit dan harus menembus regulasi yang berlapis-lapis," katanya.

Menurut Rudi, kewenangan kepala daerah di era otonomi daerah saat ini sudah cukup besar sehingga membuat rawan disalahgunakan. Hal ini cukup tampak pada kemudahan berbisnis di daerah, karena memiliki nilai investasi yang besar, tidak jarang izin usaha dipersulit.

"Pebisnis harus mengandalkan hubungan informal dengan kepala daerah agar bisa mendapatkan kemudahan berinvestasi dan tidak jarang harus memberikan upeti pada kepala daerah agar mendapatkan kemudahan," katanya.

Minimnya infrastruktur juga menjadi kendala utama, padahal menurut undang-undang yang berlaku, pemerintah daerah berhak menyediakan prasarana seperti jalan, listrik, air bersih, sertifikat tanah, dan lain-lain.

Namun tidak jarang prasarana tersebut tidak tersedia sehingga pebisnis harus membangun prasarana tersebut. Menurut Tim Evaluasi dan Pengawasan Penyerapan Anggaran (TEPPA), penyerapan APBD per September 2012 adalah 43,90 persen, jumlah ini masih dianggap rendah dan tidak memadai untuk membangun infrastruktur yang diharapkan.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas