Kaukus Papua Desak Pemerintah Stop Perpanjangan Kontrak Freeport
Robert juga heran dengan sikap pemerintah yang malah beri kelonggaran kepada PT Freeport bangun smelter di Gresik, bukan di Papua.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kaukus Parlemen Papua meminta nasib PT Freeport ditentukan setelah Undang-Undang Otonomi Khusus (otsus) Plus Papua tuntas. Kaukus Papua menganggap ini penting karena undang-undang ini mengatur jelas hak masyarakat Papua dalam pengelolaan sumberdaya alam di negeri paling timur Indonesia ini.
“Kami minta untuk pembahasan perpanjangan PT Freeport ini harus menyelesaikan dulu masalah Undang-Undang Otsus plus Papua, masalah hak-hak ulayat yang dituntut masyarakat yang punya hak ulayat di tambang Freeport,” kata kata Ketua Kaukus Parlemen Papua Robert Joppy Kardinal di Gedung Parlemen, Jakarta, Kamis (19/11/2015).
Politisi Golkar ini menganggap keberadaan PT Freeport di Papua tidak mampu mengangkat taraf hidup masyarakat Papua. Sejak beroperasi tahun 1967, PT Freeport hanya menjadikan masyarakat Papua penonton di negeri sendiri.
"Kita pernah surati Presiden Jokowi 7 Juli lalu, banyak hal yang kami jelaskan disitu karena Freeport ini menurut kami tidak ada manfaat sama sekali termasuk dari segi keuangan. Yang didapat pemerintah dari PT Freeport dibawah Rp 10 Triliun sementara dana pemerintah untuk pembangunan ke Papua dan Papua Barat itu Rp 38 Triliun,” katanya.
Tak hanya itu, lanjut dia, hampir setengah abad beroperasi di Tanah Papua, yang terserap bisa bekerja di perusahaan tambang asal Amerika Serikat ini hanya 25 persen, 75 persennya berasal dari luar Papua.
“Sudah pekerjanya minim, jabatan juga biasa-biasa saja. Hampir 50 tahun, tak satu pun orang Papua menduduki Presiden Direktur di PT Freeport. Ini artinya Freeport tidak berhasil angkat masyarakat Papua,” katanya.
Robert yang juga anggota Komisi IV DPR RI ini sangat menyayangkan sikap pemerintah yang belum mau mendukung RUU Otsus Plus Papua masuk dalam pembahasan prolegnas 2016. Undang-undang ini, kata dia, sangat penting karena menyangkut hak-hak Papua termasuk kemungkinan pemerintah Papua memiliki saham dari PT Freeport.
“PT Newmont saja 20 tahun beroperasi tapi sudah berikan 20 persen sahamnya untuk pemerintah daerah. 10 persen untuk Kab. Sumba dan 10 persen untuk Kab. Sumbawa Barat dan itu resmi, ada kontraknya. Tapi kok Freeport tidak bisa,” heran dia.
Karena itu, dia mendesak pemerintah untuk tidak membahas nasib kelanjutan kontrak PT Freeport sebelum RUU Otsus Plus Papua resmi diundangkan. Tak hanya itu, dia juga meminta kelanjutan kontrak Freeport dibahas dengan melibatkan stakeholders di Papua.
“Pemerintah dan PT Freeport harus duduk bersama dengan masyarakat Papua. Kalau kita di Papua namanya Gelar Tikar Adat. Karena yang kita khawatirkan nanti masyarakat Papua begitu selesai kontraknya, tinggal kubangan-kubangan besar hingga akhirnya yang tinggal besi-besi tua saja buat orang Papua,” jelasnya.
Robert juga heran dengan sikap pemerintah yang malah beri kelonggaran kepada PT Freeport bangun smelter di Gresik, bukan di Papua. Tidak hanya itu, dia menemukan pengelolaan tambang Freeport di Papua tidak ramah lingkungan.
“Kebetulan saya di Komisi IV DPR RI, nah dalam rapat itu ada kesimpulan hasil rapat bersama Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup bahwa itu (penambangan PT Freeport) harus diberhentikan dulu. Jadi (PT Freeport) harus selesaikan masalah-masalah lingkungan dan alih fungsi hutan di Freeport, tapi kenapa masih jalan terus?,” heran dia.
Anggota Parlemen Papua Peggy Patricia Pattipi menyayangkan RUU Otsus Plus Papua tidak masuk dalam prolegnas 2016. Padahal RUU Otsus ini menyangkut hak-hak orang Papua termasuk PT Freport.
“Undang-undang otsus ini tidak didorong pemerintah sementara perpanjangan Freeport didorong oleh kementerian ESDM. Sementara hak orang Papua yang tercantum dalam UU Otsus Plus Papua tidak disetujui masuk prolegnas 2016, hak orang papua itu dimana,” katanya.
Patricia yang juga Anggota DPR dari Fraksi PKB ini menilai saat ini pemerintah tutup mata terhadap Papua. Patricia lalu membandingkan dengan masalah penambangan ilegal di Lumajanag yang sampau menyebabkan aktivis lingkungan meninggal dengan Papua.
“Satu orang Papua saja mati pemerintah tidak pernah bicara serius di negeri ini, tapi satu orang seperti pembunuhan masalah pasir Besi di Jatim, itu semua satu Indonesia membicarakan. Padahal di papua itu kasusnya sama. Jadi pemerintah Indonesia menutup mata terhadap Papua. Sebelum kancil itu terbunuh di Luimajang, dua bulan sebelumnya ada penembakan orang Papua di Timika dan itu tidak dibicarakan serius oleh pemerintah,” protes dia.