Dilema Suku Bunga Perbankan Nasional
Suku bunga kredit perbankan nasional masih terlalu tinggi jika dibandingkan dengan suku bunga kredit negara tetangga kawasan ASEAN.
Penulis: Sylke Febrina Laucereno
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Suku bunga kredit perbankan nasional masih terlalu tinggi jika dibandingkan dengan suku bunga kredit negara tetangga kawasan ASEAN.
Dari data Kamar dagang dan industri (Kadin) Indonesia, suku bunga kredit rata-rata di kisaran 12 persen, sedangkan Thailand rata-rata 6,5 persen, Filipina 5,5 persen, Singapura 5 persen dan Malaysia 4,5 persen.
Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla sempat kesal dengan tingkat bunga kredit yang terlalu tinggi. Kekesalannya disampaikan saat sambutan pada pertemuan tahunan Bank Indonesia November lalu.
Wapres mengungkapkan saat ini industri perbankan nasional yang masih sedikit yang berpihak pada sektor usaha kecil dan menengah (UKM) dengan memberikan bunga rendah.
"Masa bunga kredit korporasi lebih rendah 10 persen dari bunga UKM, perbankan juga harus bisa perbaiki bunga UKM," ujar JK.
Menurut dia, dengan tingginya bunga kredit sektor UKM maka akan sulit untuk mencari pendanaan. Padahal, UKM sangat membutuhkan pendanaan yang murah untuk pertumbuhan usaha.
"Pemerintah sekarang hanya bisa bantu perbaiki sektor UKM, dengan apapun biayanya, kita harus turunkan bunga UKM, seperti bunga kredit usaha rakyat (KUR) bunga dari 22 persen sekarang jadi 12 persen tahun depan pemerintah mau 9 persen," tambahnya.
Dia juga menceritakan, selama dirinya menjadi pengusaha, dia tidak rela dengan bunga UKM yang lebih tinggi dibandingkan bunga korporasi.
Menurut Wapres, investasi di Indonesia tidak akan tumbuh tinggi jika antara bunga simpanan dan bunga kredit masih tinggi. "Salah satunya harus ada dikorbankan, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus mampu mengontrol tingkat bunga (kredit & simpanan) agar seimbang dan tidak terlalu tinggi," kata Wapres.
Wapres menyebutkan pembiayaan di Indonesia masih didominasi sektor perbankan dan pembiayaan saham masih sangat minim. Dia mengatakan, hal ini terjadi karena masih tingginya bunga simpanan di perbankan, sehingga menyebabkan masyarakat lebih memilih menyimpan uang di bank, hal yang ini mempengaruhi jumlah dana masuk ke pasar modal.
“Mana mungkin orang mau membeli saham, selama bunga deposito bisa mencapai 8 persen sampai 10 persen, orang pasti pilih yang pasti dibandingkan saham, tapi jika bunga deposito 4 persen atau 5 persen orang akan beralih ke saham,” ujar dia.
Berdasarkan survei perbankan Indonesia kuartal III 2015 rata-rata bunga kredit modal kerja dalam rupiah tercatat 13,6 persen atau dikisaran 10,98 persen hingga 16,25 persen. Sedangkan untuk kredit investasi tercatat 13,02 persen dan untuk kredit konsumsi 14,7 persen.
Untuk bunga KPR rata-rata 12,75 persen, kredit kendaraan bermotor (KKB) 13,75 persen, bunga kartu kredit 30,66 persen, kredit multiguna 13,94 persen dan kredit tanpa agunan 20,99 persen.
Dari bank berdalih, tingginya bunga kredit seiring dengan biaya dana yang dikeluarkan bank dan tingginya risiko dalam penyaluran kredit.
Dari suku bunga dasar kredit (SBDK) empat bank besar, yakni PT Bank Mandiri Tbk (Bank Mandiri) bunga kredit korporasi tercatat 10,5 persen, kredit ritel 12,25 persen, kredit mikro 19,25 persen, KPR 11 persen dan non KPR 12,5 persen.
PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) bunga kredit korporasi 10,75 persen, kredit ritel 11,5 persen, kredit mikro 19,25 persen, KPR 10,25 persen dan non KPR 12,5 persen.
PT Bank Central Asia Tbk (BCA) bunga kredit korporasi 10,25 persen, kredit ritel 11,5 persen, KPR 10,25 persen dan non KPR 8,63 persen.
PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) bunga kredit korporasi 11,75 persen, kredit ritel 12 persen, KPR 11 persen dan non KPR 12,75 persen.
Bank Sentral hingga akhir tahun memang belum menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) di level 7,5 persen dengan lending facility 8 persen dan deposit facility 5,5 persen. Sepanjang 2015 BI hanya menurunkan BI rate sekali yaitu pada Februari 2015 dari 7,75 persen menjadi 7,5 persen.
Tidak berubahnya suku bunga acuan karena masih tingginya risiko ketidakpastian global, sehingga BI akan tetap berhati-hati dalam menempuh kebijakan moneter serta mencermati risiko global di tengah perkembangan pasar keuangan global.
Namun BI mengisyatkan akan menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) pada 2016, hal ini seiring data makro ekonomi dalam dan luar negeri telah mendukung pelonggaran kebijakan moneter.
OJK sebagai pengawas perbankan sempat berencana untuk mengatur batas atas bank dalam menentukan tingkat bunga kredit, minimal bunga kredit bank bisa sesuai dengan acuan di BI. Aturan ini bertujuan agar bank tidak seenaknya dalam menaikan bunga.
Bunga Simpanan
Meskipun suku bunga acuan tidak mengalami perubahan sejak Februari. Sejumlah bank melakukan penyesuaian yakni pemangkasan bunga deposito.
Contohnya BCA, bank nomor 3 dari segi aset ini rajin menurunkan suku bunga deposito sejak awal tahun. Menurut direksi, penurunan dilakukan agar bank tidak mengeluarkan banyak biaya mahal untuk simpanan berjangka atau deposito.
Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja mengatakan hingga Desember 2015 special rate deposito di BCA sudah dikisaran 5,5 persen. "Rata-rata perbankan masih memberikan bunga 8 persen sampai 9 persen," ujar dia.
Menurut Jahja saat ini kondisi likuiditas perbankan cukup longgar, jika bank ingin melakukan penurunan bunga ini merupakan waktu yang pas.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada Oktober 2015 melakukan penurunan pada bunga penjaminan, penyesuaian dilakukan karena LPS memandang selama 6 bulan terakhir likuiditas perbankan masih memadai.
Untuk bunga penjaminan dalam rupiah 7,5 persen turun 25 basis poin dibandingkan bulan sebelumnya 7,75 persen. Sedangkan untuk simpanan dalam valuta asing (valas) menjadi 1,25 persen. Untuk simpanan rupiah di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) 10 persen. Sesuai ketentuan LPS apabila suku bunga di bank melebihi bunga penjaminan LPS maka simpanan tersebut tidak dijamin.