Soal Kasus Mobile 8, Kejagung Diminta Tidak Gegabah
Kasus restitusi pajak PT Mobile 8 Telecome Tbk (Mobile 8) yang diusut oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) terus bergulir
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus restitusi pajak PT Mobile 8 Telecome Tbk (Mobile 8) yang diusut oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) terus bergulir. Sehubungan transkasi barang yang diduga fiktif sehingga menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 10 miliar.
Terkait kasus ini, Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) meminta Kejagung diminta tidak gegabah dalam mengusut dugaan kasus pajak berkaitan dengan korporasi atau institusi bisnis.
Menurut Yustinus, dalam kasus Mobile 8, Kejagung dinilai tidak memiliki kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan. Ranah yang bisa ditangani jaksa berkaitan dengan tindak pidana korupsi, misalnya, yang dilakukan pegawai pajak.
Namun dalam kasus restitusi pajak, pihak yang berwenang menyidik adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perpajakan. Jadi, “Kasus seperti Mobile 8 tidak bisa dimasukkan dalam domain kasus korupsi,” terang Yustinus, Senin (11/1).
Kedua, kalau pun masalah restitusi ini dikembalikan ke Direktorat Jenderal Pajak dan kemudian diduga ada indikasi pidana, proses penyidikannya pun bertahap. Sementara untuk restitusi pajak Mobile 8, Ditjen Pajak menilai sudah tidak ada masalah.
Mengacu dalam dokumen di kalangan wartawan, yakni Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKP-LB) bernomor 00059/406/07/054/09 Tahun 2007 Tanggal Penerbitan 13 Maret 2009 ditetapkan jumlah PPh Mobile 8 yang lebih bayar senilai Rp 12.239.025.011.
Kemudian, Mobile-8 juga menerima Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKP-KB) Pajak Penghasilan pasal 21, 23, 4 ayat 2 dan 26 dengan jumlah Rp 1.490.868.666. Dengan demikian, pengembalian bersih atas lebih bayar tersebut sebesar Rp 10.748.156.345.
Selain itu, Mobile-8 juga menerima SKP Kurang Bayar (SKP-KB) Pajak Penghasilan pasal 21, dan 26 dengan jumlah Rp 10.373.785.873, sehingga tidak ada pengembalian atas lebih bayar tersebut.
Dua SKP itu pun hingga 8 Januari 2016 tidak ada koreksi sehingga SKP-LB tersebut dianggap sudah benar adanya.
Berdasarkan Penjelasan pasal 8 ayat 1 (a) UU nomor 28 tahun 2007 tentang perubahan ketiga UU nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, jika dalam 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak tidak ada koreksi dari Direktorat Pajak, maka Surat Pemberitahuan Pajak dianggap benar.
Yustinus menjelaskan, jika ada kasus pidana dalam perpajakan, PPNS pun harus melakukan pemeriksaan awal lebih dulu. Semacam pengumpulan bukti awal dalam proses penyelidikan tindak pidana di kepolisian atau kejaksaan.
Nah, seandainya ditemukan bukti permulaan yang cukup, pembayar pajak juga masih diberi kesempatan untuk membayar denda administrasi. “ Pajak, kan, prioritas di penerimaan negara, saya kira harus ditempatkan dahulu di Ditjen pajak," tegasnya.
Berkaca di kasus pajak Asian Agri, kata Yustinus, Kejagung pun tidak melakukan penyelidikan maupun penyidikan dari tahap awal. Mereka hanya menerima pelimpahan dari Ditjen Pajak. Selanjutnya tugas jaksa adalah melakukan penuntutan.
Ia menjelaskan, dari sisi undang-undang, Kejaksaan juga memiliki limitasi alias keterbatasan mengingat UU Korupsi itu bersifat lex generalis sementara di UU Pajak Lex Specialis. Kejaksaan bisa menyidik kasus pajak pun jika hanya ada seorang PNS yang misalnya melakukan korupsi. Sementara untuk korporasi harus dikedepankan UU Pajak.
"Kalau indikasi korupsi itu baru bisa diberlakukan pada pegawai pajak yang korupsi, baru bisa Tipikor masuk, kalau tidak ada, ya tidak bisa dipaksakan, sementara ini kan murni korporat, ya harusnya UU Pajak," tandasnya.
Awal mula dugaan tindak korupsi tersebut muncul saat Mobile 8 mengadakan ponsel serta pulsa dengan nilai transaksi Rp 80 miliar dan bekerjasama dengan PT Djaya Nusantara Komunikasi.
Pada tahun 2007, perusahaan milik Harry Tanoe ini telah melakukan transaksi sebesar Rp 80 miliar yang dilakukan sebanyak dua tahap. Pertama, Rp 50 miliar kedua, Rp 30 miliar.
Tahun 2008, PT Djaya Nusantara Komunikasi telah menerima faktur pajak dari PT Mobile 8 senilai Rp 114 miliar. Rupanya, faktur tersebut sengaja diterbitkan supaya terlihat adanya transaksi antara kedua perusahaan tersebut.
Faktur pajak itu digunakan oleh PT Mobile 8 untuk mengajukan restitusi pajak ke negara melalui Kantor Pelayanan Pajak di Surabaya. Alhasil, perusahaan menerima pembayaran restitusi sebesar Rp 10 miliar, yang dianggap bukan haknya.(Yudho Winarto)