Ekonomi Mongolia Terjerembab dalam Kondisi Terburuk di 5 Tahun Terakhir
Situasi ini terbilang tragis, mengingat Mongolia merupakan salah satu negara tujuan investor.
Penulis: Abdul Qodir
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, MONGOLIA- Perekonomian Mongolia berputar dengan cepat. Di 2011, ekonomi Mongolia tumbuh 17% dan berhasil menarik miliaran dollar dalam investasi asing.
Namun kini negara ini menghadapi krisis utang dan kemungkinan gagal bayar alias default.
Mengutip CNBC, mata uang Mongolia juga mencatatkan pelemahan yang cukup besar, yakni keok 10% terhadap dollar dalam sebulan terakhir.
Bank sentral Mongolia sudah berupaya untuk mengerem pelemahan mata uang dengan mendongkrak suku bunga acuan sebesar 4,5 percentage poin menjadi 15%. Namun, upaya itu sia-sia.
Saat ini, kondisi ekonomi Mongolia semakin parah. Bahkan ada isu bahwa pemerintah Mongolia akan meminta bantuan dana bailout dari Badan Moneter Internasional (IMF).
"Kita mengalami krisis ekonomi yang cukup buruk. Kita kemungkinan besar tidak akan mampu membayar gaji dan biaya operasional dari departemen pemerintahan," jelas Menteri Keuangan Mongolia Choijilsuren Battogtokh.
Situasi ini terbilang tragis, mengingat Mongolia merupakan salah satu negara tujuan investor.
Negara berpenduduk 3 juta orang ini dikaruniai sumber daya alam berlimpah dan berhasil menarik miliaran dollar dalam investasi tambang.
Sebelum terjadi krisis mata uang, Bank Dunia mengatakan, Mongolia di ambang transformasi besar didorong oleh eksploitasi sumber daya mineral yang luas.
Namun, anjloknya harga komoditas mengakhiri masa keemasan ekonomi Mongolia.
Di sisi lain, permintaan dari China semakin menurun akibat perlambatan ekonomi mereka.
Para ahli memprediksi, pertumbuhan ekonomi Mongolia tahun ini akan flat atau berada di angka pertumbuhan rendah satu digit.
Kenyataannya bisa lebih buruk jika krisis ekonomi tidak berhasil diselesaikan.
Pekan lalu, Standard & Poor's memangkas peringkat utang Mongolia dari "B" menjadi "B-". S&P juga mengingatkan defisit anggaran pemerintah bisa lebih buruk dari prediksi sebelumnya, yakni 21% dari PDB di 2016.