Kurtubi: Tahun 2019 Indonesia Layak Miliki PLTN
"Tahun 2019 seharusnya sudah akan ada peletakan batu pertamanya di Indonesia"
Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-- Anggota Komisi VII DPR RI, Kurtubi mendorong dan mendukung penuh dibukanya pembangunan Pembangkit Litrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia.
Bahkan menurut hitung-hitungannya, tahun 2019 mendatang seharusnya sudah akan dimulai melalui peletakan batu pertama pertanda mulainya Pembangunan PLTN di Indonesia.
Dengan demikian, pemenuhan energi dalam jangka panjang akan mampu menjamin kebutuhan listrik rakyat, mampu mendorong percepatan investasi, mempercepat kesejahteraan rakyat, serta dapat mendorong bangsa yang besar ini untuk segera menjadi negara industri maju.
Menurutnya, hal itu hanya bisa terjadi jika perencanaan Energi Nasional bisa segera direvisi agar pemenuhan energi dalam jangka panjang mampu menjamin kebutuhan listrik rakyat.
"Kami mendorong dan mendukung penuh dibukanya pembangunan PLTN di Indonesia. Tahun 2019 seharusnya sudah akan ada peletakan batu pertamanya di Indonesia," ujar Kurtubi ketika menjadi Nara sumber pada REKERTAS Dewan Ketahanan Nasional (WANTANNAS) dengan tema ' Penataan Kembali Petencanaan Ketahanan Energi Nasional,' Jakarta, Selasa (4/10/2016).
Ketersediaan listrik dalam jangka panjang tanpa PLTN, dia melihat akan menempatkan kesejahteraan rakyat san ekonomi Indonesia selalu tertinggal dengan negara tetangga. Seperti terhadap Malaysia, Thailand dan Singapura bahkan bisa tertinggal dibanding Vietnam.
"Kapasitas dan konsumsi lisitrik di Indonesia saat ini hanya 1/5 kapasitas dan konsumsi listrik per capita Malaysia," jelasnya.
Dia menjelaskan kondisi kelistrikan Indonesia sangat menyedihkan. Menurut Anggota Komisi VII DPR itu, ini terlihat dari kapasitas pembangkit listrik nasional yang sangat rendah.
Konsumsi listrik di Indonesia masih lima kali lipat dibanding Malaysia.
"Pendapatan per kapita kita dengan Malaysia. Memeng pendapatan perkapita kita dengan mereka separuhnya, Malaysia USD8 ribu per kapita per tahun, kita USD4 ribu. Tapi kalau konsumsi listriknya perkapitanya Malaysia lima kali lipat dari kita."
"Kalau Vietnam income per kapitanya setengah dari kita tapi konsumsi listriknya dua kali dari kita," ujarnya.
Dia menilai perlu ada perubahan tata kelola yang selama ini dinilainya keliru. Karena membangun listrik 35 ribu MW saja sudah kelimpungan.
Menurutnya, Indonesia butuh empat sampai lima kali pasokan listrik dari kapasitas listrik yang ada saat ini.
"Sekarang ini kapasitasnya 60 ribu MW. 5 x 60.000 MW, bukan 35.000 MW yang harus kita punya," jelasnya.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak akan mampu meningkatkan kapasitas pembangkit listrik nasional, jika tidak mengubah tata kelola listrik di Indonesia.
Situs Presiden RI.go.id menyebutkan, Indonesia baru memiliki 53.585 MW kapasitas listrik.
Bandingkan dengan Tiongkok yang berpenduduk lima kali lipat dari Indonesia namun punya kapasitas 1,3 juta MW. Atau dengan Singapura yang berpenduduk 5,3 juta tapi mampu memproduksi 10.490 MW listrik.
Rasio elektrifikasi kita masih sebesar 81,5%, atau ada sekitar 40 juta penduduk yang belum tersentuh fasilitas listrik. Tidak hanya di wilayah pelosok, kota-kota besar di Pulau Sumatera dan Kalimantan juga kerap mengalami defisit listrik.