Polemik Tarif Interkoneksi dan Network Sharing Hambat Perekonomian Nasional
Setidaknya dibutuhkan US$ 12 miliar per tahun untuk meningkatkan kemampuan digital Indonesia secara nasional
Editor: Eko Sutriyanto
Agus menambahkan network sharing itu membangun bersama-sama secara gotong royong sehingga jaringan broadband bisa direalisasikan lebih cepat dengan biaya yang lebih efisien.
Menurut Agus, tidak perlu membawa isu nasionalisme tetkait revisi PP 52/53.
“Ini bukan masalah operator merah-putih lawan operator asing, karena semua operator besar di Indonesia ada pemegang saham asingnya semua,” ujar Agus.
Agus minta kebijakan interkoneksi yang baru dan revisi PP diselesaikan minggu depan di Kementerian Koordinator Perekonomian lalu segera ke Presiden untuk disahkan kemudian diimplementasikan.
Menurut pakar telekomunikasi, Nonot Harsono, banyak disebarkan opini yang keliru yang menghambat revisi PP ini.
“Opini keliru yang pertama itu adalah RAN sharing diinfokan numpang BTS, yang benar ini dibangun secara gotong royong. Backbone sharing dibilang penumpang gelap. Padahal tetap bayar sewa, utilitas naik dan revenue pemilik backbone meningkat,” ujarnya.
Prof. Dr. Ir. Tresna Priyatna, Anggota Komisioner Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan bahwa konsep active infrastructure sharing adalah positif dalam konteks persaingan karena menghilangkan potensi penyalahgunaan posisi dominan kepemilikan infrastuktur oleh operator besar.
“Keterbukaan infrastructure, network, dan interkoneksi memungkinkan pemain baru yang kompeten untuk masuk ke pasar dengan cepat. Selain itu, peningkatan pelayanan yang lebih terjangkau, berkualitas, dan cepat dapat diwujudkan. Semuanya demi mendukung kesejahteraan,” jelas Prof. Tresna.
Lebih lanjut, dia menambahkan, “Competition checklist beberapa Peraturan Presiden (Perpres) antara Komisi Pengawasan dan Persaingan Usaha (KPPU) dan Kemenkominfo akan segera keluar. Tujuannya agar setiap regulasi terawasi dan fair sebagai tindakan preventif sesuai persaingan sehat.”