Generasi Milenial Semakin Sulit Punya Rumah
Memiliki rumah adalah idaman setiap orang. Namun, kenyataannya, membeli rumah tidak semudah yang dibayangkan
Editor: Sanusi
Akad kredit rencananya berlangsung pada bulan ini. Sambil menunggu 4-6 bulan masa pembangunan rumah Diah kini tinggal bersama orangtuanya.
Berbeda dengan Diah, pengalaman Ihsanuddin (25) dalam membeli rumah lebih berdasar pada kondisi yang mendesak.
"Rumah orangtua kan di Lampung. Di Jakarta, saya ngga ada rumah atau rumah saudara yang enak untuk saya menumpang," tutur Ihsan.
Karena itu, ia pun harus menyewa kamar indekos yang harganya pun sudah cukup mahal.
Pada saat yang sama, Ihsan mengaku gajinya pas-pasan jika harus menyisihkan biaya untuk tinggal di kamar indekos.
Pada akhirnya, ia mencari indekos yang murah di kawasan Senen namun kondisi kamar kecil, sekat dinding antar-kamar dari papan tripleks, serta kamar mandi terpisah.
"Akhirnya setelah sekitar setahun saya indekos dan udah punya duit untuk DP, saya bertekad untuk ambil rumah," jelas Ihsan.
Pada 2014, ia mencari rumah di pameran properti, dan mendapatkan rumah murah di daerah Parung Panjang dengan harga Rp 115 juta.
Rumah itu berukuran bangunan 27 meter persegi dan tanah 84 meter persegi.
Ia mengaku, sebenarnya Parung Panjang jauh dari lokasi kerjanya di Jakarta dan masih sepi.
"Saya berani ambil karena dekat sama stasiun. Cuma sekitar 1 kilometer. Apalagi, stasiunnya satu jalur ke kantor," jelas Ihsan.
Lebih lanjut, untuk membeli rumah tersebut, ia mengeluarkan DP sebesar Rp 30 juta.
Karena murah, Ihsan memaklumi akses jalan menuju perumahan milik Perum Perumnas ini, sangat tidak memadai.
Banyak truk yang lewat jalan tersebut dan tidak ada upaya dari pemerintah kabupaten Bogor untuk membenahi.
"Kalau jalan yang di (perumahan) Perumnas, sebagian udah mulus. Tapi, sebagian lagi masih ada yang rusak," ucap Ihsan.
Meski demikian, Ihsan tetap merasa bersyukur karena sudah memiliki rumah sendiri dan tinggal bersama istrinya.
Ia pun lebih sering memanfaatkan moda transportasi kereta commuter daripada mengendarai motor ke kantornya.(Arimbi Ramadhiani)