Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Kasus Freeport Seperti De Javu, Masalah Sama dan Selalu Berulang

Siti mengungkap, limbah Freeport mencapai 300 ribu ton per hari dan digelontorkan ke sungai.

Penulis: Ferdinand Waskita
Editor: Choirul Arifin
zoom-in Kasus Freeport Seperti De Javu, Masalah Sama dan Selalu Berulang
FREEPORT INDONESIA
Jembatan sungai Ajkwa atau sering dinamakan Mil-34 di kompleks tambang Freeport Indonesia di Papua. Menurut Siti Maimunah dari Jaringan Advokasi Tabang (JHATAM), limbah Freeport mencapai 300 ribu ton per hari dan digelontorkan ke sungai. 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Siti Maimunah melihat persoalan PT Freeport Indonesia sepert berulang. Hal itu terkait ancaman Freeport mengenai PHK massal dan arbitrase internasional.

"Ini seperti 'de javu' (berulang) , hampir tiap tahun selalu ada yang diperkarakan dan masalah yang timbul," kata Siti dalam diskusi "Indonesia tanpa Freeport: mengapa tidak?" di D' Hotel, Jakarta, Minggu (26/2/2017)

Siti mengingatkan Freeport merupakan perusahaan tertua yang melakukan kontrak karya di Indonesia. Kontrak tersebut sudah berusia setengah abad atau 50 tahun.

Siti meminta pemerintah menempatkan persoalan kontrak karya dengan Freeport sebagai persoalan yang sangat serius.

"Ini jadi acuan dengan kontrak karya dengan perusahaan lain. Kalau (Freeport) enggak mau diatur, perusahaan lain juga, maka pemerintah harus keras kepala," kata Siti.

Menurut Siti, persoalan divestasi hanya satu diantara banyak persoalan di Freeport.

Berita Rekomendasi

Baginya, Freeport memberikan luka mendalam bagi Papua. Siti mengatakan persoalan bukan hanya pelanggaran HAM tetapi juga memotong hubungan religi dan sosial.

"Pegunungan itu menurut orang Papua sebagai ibu lalu dihancurkan," kata Siti.

Siti juga menuturkan Freeport merupakan perusahaan tambang yang paling banyak membuang limbah di dunia.

Siti mengungkap, limbah Freeport mencapai 300ribu ton per hari dan digelontorkan ke sungai.

"Itu cara paling primitif, digelontorkan di sungau, sampai ke laut, ini resiko baru karena laut tidak punya batas, bisa ke Papua Nugini. Ini tidak pernah dipercakapkan pemerintah," kata Siti.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas