IKAPPI: Upaya Pemerintah Atur Harga Acuan Pangan Belum Efektif
Kementerian Perdagangan (Kemdag) merevisi beleid harga acuan pembelian bahan pangan di tingkat petani dan penjualan konsumen.
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Perdagangan (Kemdag) merevisi beleid harga acuan pembelian bahan pangan di tingkat petani dan penjualan konsumen.
Dalam revisi tersebut, Kemdag menambahkan pengaturan harga acuan baru untuk daging beku, daging ayam dan telur ayam. Sementara komoditas yang dikeluarkan dari aturan itu adalah cabai.
Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 27/M-DAG/PER/5/2017 tersebut menggantikan Permendag No 63 tahun 2016.
Namun Ketua umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) Abdullah Mansuri menilai upaya Kemdag mengatur harga beli dan harga jual di konsumen tersebut, tidak cukup untuk menjaga harga stabilisasi harga pangan di bulan puasa. Menurutnya, pengaturan harga komoditas pangan tidak berdampak signifikan pada penurunan harga pangan di pasar tradisional. "Hal ini disebabkan struktur perdagangan kita belum siap," katanya, Minggu (28/5).
Dia mencontohkan, minyak goreng kemasan sederhana yang ditetapkan dengan harga eceran tertinggi (HET) Rp 11.000 per liter, pada kenyataanya, harga di tingkat pedagang pasar tradisional masih di kisaran Rp 13.000 per liter.
Harga gula pasir di konsumen juga masih Rp 14.500 per kg, jauh di atas patokan harga yang ditetapkan sebesar Rp 12.500 per kg. Sementara harga bawang merah sebesar Rp 37.000 per kg, dan daging ayam sekitar Rp 35.000 per kg, lebih tinggi dari ketetapan harga di tingkat konsumen Rp 32.000 per kg.
Rantai panjang
Menurut Abdullah, tidak terpenuhinya harga eceran yang ditetapkan pemerintah karena rantai pasok yang terlalu panjang. Hal ini berbeda bila dibandingkan dengan ritel modern yang sudah memiliki suplier yang langsung memasok ke toko. Sementara di pasar tradisional harus melewati rantai panjang, setidaknya empat pihak mulai dari pabrik, agen, distributor hingga pedagang.
Seperti diketahui, dalam Permendag 27 tahun 2017, ada sembilan komoditas yang diatur harga pembelian di petani dan penjualan di konsumen, yakni beras, jagung, kedelai, gula, minyak goreng, bawang merah, daging (daging beku/daging sapi), daging ayam, serta telur ayam.
Sedangkan dalam aturan sebelumnya, komoditas yang diatur adalah beras, jagung, kedelai, gula, bawang merah, cabai, dan daging sapi. Dengan perubahan ini, maka nantinya peran Badan Urusan Logistik (Bulog) dan upaya stabilisasi harga pangan juga akan berubah.
Wakil Ketua Umum Kamar dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta Sarman Simanjorang mengatakan, Permendag belum mampu mewujudkan tujuannya, yaitu menjamin ketersediaan, stabilitas dan kepastian harga baik di tingkat petani maupun konsumen. "Memang tidak gampang mengintervensi pasar dengan berbagai komoditas yang memiliki karateristik berbeda-beda," kata Sarman.
Ia menjelaskan, pangan pokok dalam negeri terdiri dari tiga bagian, yaitu bersumber dari proses produksi atau pabrik seperti gula, minyak dan tepung. Juga bersumber dari peternakan, yaitu daging sapi, ayam dan telor, serta bersumber dari hortikultura yaitu beras, bawang, cabai, buah dan sayur mayur. Harga acuan hanya efektif bila produksi pangan pokok sudah seimbang dengan permintaan. "Sebagus apa pun aturan jika stok atau produksi tidak seimbang dengan permintaan akan sangat sulit menerapkan harga acuan," ujarnya.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengklaim, dalam pemantauan Kemdag sebulan terakhir, harga barang kebutuhan pokok umumnya stabil bahkan cenderung turun, kecuali harga bawang putih yang naik akibat berkurangnya pasokan. "Stok barang kebutuhan pokok khususnya beras, gula, tepung terigu, dan minyak goreng cukup untuk memenuhi Puasa dan Lebaran," katanya.(Handoyo)