DPR Dukung Pertamina Kelola Blok East Natuna
pengelolaan blok yang memiliki kandungan migas empat kali lipat dari blok Mahakam tersebut dapat dikelola sepenuhnya oleh Pertamina
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hengkangnya ExxonMobil dari Blok East Natuna disambut positif oleh berbagai kalangan.
Pasalnya, dengan keluarnya Exxon, pengelolaan blok yang memiliki kandungan migas empat kali lipat dari blok Mahakam tersebut dapat dikelola sepenuhnya oleh PT Pertamina (Persero) selaku perusahaan BUMN.
Kurtubi, anggota Komisi VII DPR yang membidangi energi mengatakan, tidak mempermasalahkan hengkangnya ExxonMobil dari East Natuna. Sebab, Pertamina bisa mencari partner lain yang bisa diajak kerjasama dalam mengelola blok tersebut.
"Kalau Exxon tidak mau, ya tidak masalah, kan Pertamina bisa mencari partner lain," katanya, Senin (24/7/2017).
Toh, kata dia, kerjasama di East Natuna tersebut hanya sebatas pemisahan Co2 dari Metan. Dan apakah nantinya akan dijadikan dalam bentuk LPG dan dialirkan melalui pipa gas, itu nanti tergantung dari kesepakatan dengan Pertamina.
"Teknologi pemisahan Co2 ini sekarang sudah dimana-mana, banyak yang bisa. Jadi tidak perlu bergantung kepada Exxon," ujarnya.
Hal senada diungkapkan pakar energi dari Universitas Gajah Mada (UGM) Fahmi Radhi. Menurutnya, dengan keluarnya Exxon dari East Natuna, maka Pertamina bisa mencari partner baru dengan menggunakan skema business to business (b to b). Hal tersebut akan menguntungkan Pertamina selaku pemegang konsesi blok tersebut.
"Pertamina menjadi lebih leluasa dalam mengelola blok tersebut dan dapat menentukan siapa yang bisa diajak kerjasama," katanya.
Hanya saja, lanjut Fahmi, hengkangnya Exxon menjadi preseden buruk dalam pengelolaan blok migas di Indonesia. Apalagi selama puluhan tahun blok tersebut tidak tersentuh lantaran sangat bergantung pada Exxon.
Langkah Exxon yang membiarkan pengembangan blok East Natuna terbengkalai sangat merugikan pemerintah Indonesia. Karena itu, atas sikap wan prestasi Exxon, pemerintah dapat mengajukan gugatan.
"Meskipun baru potensi kerugian, namun itu bisa jadi preseden buruk bagi pengelolaan migas lainnya. Tapi itu semua tergantung Pemerintah, apakah akan melakukan gugatan atau tidak," kata Fahmi.
Sebelumnya, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan, pengembalian Blok East Natuna sangat positif bagi Indonesia. Selain dikuasai kembali oleh Pertamina, pengelolaan blok ini juga tidak tergantung pada pihak lain.
"Sejak tahun 1970-an sampai dengan 2016, pengembangan blok East Natuna tidak memiliki kejelasan. Artinya, selama puluhan tahun itu tidak ada pengembangan," jelasnya Jumat Pekan lalu.
Arcandra mengungkapkan, dalam suatu waktu kontraktor East Natuna mendapatkan 100 persen hasil migas dan pemerintah hanya mendapatkan pajak. Bahkan, dalam negosiasi yang dilakukan tahun lalu, kontraktor bersikeras mendapatkan 100 persen migas dan pemerintah mendapatkan pajak 40 persen.
Pada saat itu terdapat tiga kontraktor yang akan mengembangkan Blok East Natuna yaitu PT Pertamina (Persero) dan ExxonMobil dengan penguasaan saham sebesar 42,5 persen. Sementara 15 persen sisanya dimiliki PTT EP, perusahaan migas asal Thailand.
Namun, sampai negosiasi terakhir tidak terjadi titik temu, hingga akhirnya Exxon memilih mengembalikan kepemilikan East Natuna kepada Pertamina.
"Sekarang tidak ada lagi dispute blok ini milik siapa. Ini lompatan besar dalam pengelolaan East Natuna," jelasnya.