Faisal Basri: Penganggaran Pemerintah Atas Proyek Infrastruktur Masih Acak-acakan
"Presiden harus diingatkan. Makanya saya membuat surat terbuka itu. Pernyataan yang saya sampaikan di situ rasanya sudsh cukup keras."
Penulis: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom senior dari Universitas Indonesia, Profesor Faisal Basri menilai, Pemerintahan Presiden Jokowi masih acak-acakan dalam pengelolaan dan pengalokasikan sumber pendanaan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur yang saat ini dijalankan.
Ada pendanaan proyek infrastruktur yang mengambil anggaran proyek infrastruktur yang seharusnya menjadi alokasi di daerah lain.
Faisal mencontohkan tingginya target proyek infrastruktur yang dibebankan kepada dua BUMN, PT Adhi Karya (Persero) Tbk di proyek Light Rapid Transport (LRT) dan PT Hutama Karya (Persero) di proyek jalan tol Trans Sumatera.
"Kapasitas meminjam Adhi Karya terbatas untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur yang banyak. Kalau sumber daya terserap banyak ke proyek LRT, bisa kacau. Nggak bisa seperti itu cara membangun (infrastruktur) itu," ujar Faisal Basri saat menjadi pembicara di Seminar Nasional Sekuritisasi Aset BUMN di kantor pusat Jasa Marga di Jakarta, Senin (16/10/2017).
Contoh lainnya adalah alokasi pembiayaan infrastruktur PT Hutama Karya (Persero) untuk proyek jalan tol Trans Sumatera yang belakangan dipindahkan untuk membiayai proyek infrastruktur di Pulau Jawa.
Faisal menyatakan dirinya sudah memberikan warning hal tersebut melalui surat terbuka ke Pemerintah agar lebih berhati-hati dan lebih rapi dan cermat melakukan penganggaran atas proyek-proyek infrastruktur yang sedang dan akan dikerjakan.
"Presiden harus diingatkan. Makanya saya membuat surat terbuka itu. Pernyataan yang saya sampaikan di situ rasanya sudsh cukup keras," kata Faisal Basri.
Agresivitas Pemerintah membangun banyak proyek infrastruktur dinilai Faisal Basri bagus. Tapi hal itu tidak diimbangi dengan dukungan sumber pendanaan yang memadai.
Pemerintah banyak kekurangan duit.
Indikator makronya jelas, realisasi penerimaan pajak oleh negara masih rendah. Juga penyaluran pembiayaan baru oleh sektor perbankan juga masih rendah.
"Mana mungkin kita raih pertumbuhan ekonomi 6 persen per tahun jika penyaluran pembiayaan perbankan hanya
46,7 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto)," kata Faisal Basri.
Faktanya, saat ini hanya 36,1 persen masyarakat yang punya akses langsung ke perbankan.
"Penerimaan negara lagi turun, sementara pengeluaran terus didorong. Defisit APBN akan bisa bengkak, bisa di atas 3,5 persen," Faisal mengingatkan.
Namun dia menyatakan bisa memahami upaya BUMN menarik dana segar untuk membiayai proyek-proyek infrastrukturnya.