YLKI: Penyederhanaan Golongan Pelanggan Listrik Bebani Konsumen
Pertama, benar bahwa rupiah per kWh-nya sama dan tanpa abonemen, tetapi pemerintah menggunakan formula baru yakni pemakaian minimal.
Editor: Choirul Arifin
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rencana kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang akan menyederhanakan sistem tarif listrik dengan daya minimal 5.500 Volt Ampere (VA) membuat masyarakat konsumen listrik mengalami kebingungan.
Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi mengatakan, konsumen khawatir dengan sistem tarif baru itu lantaran bisa membuat tagihan tarif listrik melambung. Meskipun, Kementerian ESDM dan bahkan PT PLN (Persero) menjamin bahwa kebijakan ini bukan merupakan kenaikan tarif.
"Namun jaminan itu masih sangat meragukan jika dilihat dari beberapa indikator," terangnya melalui siaran persnya, Kamis (16/11/2017).
Indikatornya sebagai berikut:
Pertama, benar bahwa rupiah per kWh-nya sama dan tanpa abonemen, tetapi pemerintah menggunakan formula baru yakni pemakaian minimal. Dari formulasi pemakaian minimal inilah tagihan konsumen berpotensi melambung.
Sebagai contoh pemakaian minimal untuk 1.300 VA adalah 88 kWh (Rp 129.000), sedangkan 5.500 VA pemakaian minimal 220 kWh, atau sekitar Rp 320.800;
Kedua, perubahan daya yang signifikan akan mengakibatkan konsumen harus mengganti instalasi dalam rumah. Artinya konsumen harus merogoh kocek untuk hal tersebut.
Tanpa mengganti instalasi maka membahayakan bagi instalasi konsumen. Dan konsumen harus melakukan Sertifikasi Laik Operasi (SLO) ulang dan itu dibayar konsumen, dan biaya SLO untuk golongan 5.500 jauh lebih mahal.
Ketiga, penyederhanaan tarif ini akan mengakibatkan perilaku konsumtif atau boros dari konsumen listrik. Akibat aliran listrik yang loss stroom.
Baca: Jalan Tol Cikampek Pagi Ini Masih Macet Parah Pasca Insiden Crane VMS, Ini 3 Jalur Alternatifnya
Baca: Generasi Muda Golkar: Setya Novanto, Menyerahlah!
Konsumen berpotensi tak terkendali dalam menggunakan energi listriknya. Hal ini tidak sejalan dengan kampanye hemat energi dan hemat listrik yang dilakukan pemerintah.
"Dari sisi hulu kebijakan penyederhanaan tarif lebih karena over supply energi listrik," katanya. Itu akibat pemerintah getol membangun pembangkit 35.000 MW. PLN mengalami over supply energi listrik. Apalagi diduga PT PLN terjerat take or pay listrik swasta (IPP).
Atas dampak over supply dan take or pay dari IPP itulah, jelas Tulus, kemudian bebannya ditransfer ke konsumen rumah tangga. Upaya untuk meningkatkan penjualan listrik pada konsumen juga berpotensi tidak tercapai mengingat daya beli konsumen yang masih lemah.
"Apalagi faktanya konsumsi energi listrik di Indonesia terbukti masih rendah, rata-rata hanya Rp 630-an kWh per tahun per kapita," ujarnya.
Ia menilai, kebijakan penyederhanaan tarif listrik ini sebenarnya merupakan bentuk kepanikan pemerintah akibat melambungnya subsidi elpiji 3 kg yang terus melambung hingga Rp 20 triliun.
Dengan sistem baru ini, konsumen didorong beralih ke kompor listrik untuk aktivitasnya.
"Harapan ini sulit tercapai karena konsumen harus menyiapkan atau membeli kompor listrik sendiri. Dan apalagi konsumen belum terbiasa menggunakan kompor listrik. Jadi konsumen tetap akan menggunakan gas elpiji 3 kg," tandasnya.
Reporter: Pratama Guitarra