OJK Kaji Aturan Investor Ritel Serap Alokasi Saham IPO Hingga 30 Persen
“Biasanya perusahaan memberikan harga khusus untuk sahamnya saat IPO,” kata Tito di Gedung BEI
Penulis: Syahrizal Sidik
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Syahrizal Sidik
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bursa Efek Indonesia (BEI) bersama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah mengkaji aturan untuk meningkatkan alokasi saham investor ritel hingga 30 persen saat pelaksanaan penawaran umum perdana saham atau initial public offering (IPO).
Menurut Direktur Utama BEI Tito Sulistio, dengan adanya peraturan tersebut, investor ritel dapat meningkatkan kepemilikan sahamnya dengan mendapat alokasi hingga 30 persen jika permintaannya banyak.
Tito menjelaskan, saat ini peraturan tersebut sedang dipersiapkan OJK.
Dia menilai, cara paling bagus untuk menambah investor baru adalah memberikan kesempatan kepada investor ritel untuk memiliki saham perusahaan saat IPO dan menikmati hasilnya.
“Biasanya perusahaan memberikan harga khusus untuk sahamnya saat IPO,” kata Tito di Gedung BEI, Sudirman, Jakarta, Rabu, (6/12/2017).
Tito menyebut, adanya aturan tersebut lantaran penjamin emisi memberikan alokasi (allotment) ritel masih kecil sekali. Karena itu, OJK akan membuat aturan automatic bookbuilding, yakni wajib mengalokasikan 5 - 10 persen saham untuk ritel. Tetapi kalau permintaan investor ritel banyak, pelaksana emisi harus menyiapkan alokasi hingga 30 persen.
Baca: Jokowi: Anggaran Jangan Diecer ke Banyak Program
Sebab, lanjut Tito, selama ini investor ritel dapat membeli saham IPO melalui pengisian formulir dan membayar cash. Sementara proses penawaran awal (bookbuilding) biasanya hanya ditawarkan kepada investor institusi besar.
"Investor itel jarang bookbuilding, pesan lewat call, jarang bayar, biasanya bookbuilding investor gede profesional, ritel biasanya base-nya permintaan," jela Tito.
Sebelumnya, Direktur Penilaian Perusahaan BEI Samsul Hidayat menyebut, ketentuan penjatahan saham belum diatur. Maka, adanya peraturan tersebut bisa memberikan alokasi saham untuk publik besar, sehingga bisa kembali meningkatkan perdagangan saham.
"Paling ideal porsi untuk publik sekitar 5 - 10 persen. Karena belum ada aturan main, makanya bakal diatur agar lebih baik," tambahnya.
Samsul menambahkan, saat ini pembelian saham oleh investor institusi lebih ke jangka panjang. Saham tersebut menurutnya dapat dipastikan bisa bertahan lama dan tidak akan dijual dalam waktu cepat.