Berpotensi Timbulkan Masalah, Rieke Minta PP Holding Migas Dikaji Ulang
mestinya ada pengkajian ulang karena penyatuan Perusahaan Gas Negara (PGN) ke Pertamina
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Rieke Diah Pitaloka mengkritik Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2018 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan PT Pertamina.
Dia mengatakan, mestinya ada pengkajian ulang karena penyatuan Perusahaan Gas Negara (PGN) ke Pertamina, yang dilandasi aturan tersebut justru berpotensi menimbulkan masalah.
Pasalnya, menurut Rieke, PGN saat ini sedang mengalami masalah berupa penurunan laba bersih perusahaan. Masalah itu dikhawatirkan malah jadi beban Pertamina, ketika pembentukan holding minyak dan gas (migas) terwujud.
Baca: PGN Berpotensi Tambah Target Pasar setelah Bergabung dalam Holding
"Kayak begini anda mau menimpakan persoalan kepada Pertamina?" tanyanya dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VI bersama Direksi Pertamina dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Rabu (14/3/2018).
Dia menambahkan, dari data yang diperolehnya terlihat adanya pertumbuhan pendapatan, penyaluran gas 2007 sampai 2012, lalu mengenai pipa transmisi dan distribusi yang dibangun sejak 2003 sampai 2007. Ada peningkatan aset yang besar di 2012-2016, tapi laba usaha perusahan justru mengalami penurunan.
Baca: Indeks Prestasi 3 Hacker Surabaya di Atas 3, Begini Keseharian Mereka Saat Kuliah
Rinciannya, pada 2012 PGN mencatatkan pendapatan sebesar 2.580 juta dollar AS sedangkan laba bersih 915 juta dollar AS; pada 2013 pendapatan 3.001 juta dollar AS sedangkan laba bersih 838 juta dollar AS; pada 2014 pendapatan 3.253 juta dollar AS sedangkan pendapatan 711 juta dollar AS; hingga pada 2017 pendapatan 2.165 juta dollar AS sedangkan laba bersih hanya 98 juta dollar AS.
"Berdasarkan data PGN, penjelasan PGN, penjelasan direksi bagi kami tidak konsisten. Tidak berdasar dan ada hal yang tidak disampaikan," jelas Rieke.
"Kinerja PGN dalam lima tahun turun karena disebabkan adanya kenaikan biaya operasi akibat pembayaran sewa floating storage regasification unit (FSRU) atau penyimpanan gas terapung Lampung dan pemaksaan strategi manajemen dalam penetapan investasi hulu yaitu oleh Saka Energi," katanya.
Baca: Gabung The Jakmania, Suporter Persiba Bantul: Kita Saling Dukung Buat Menang
Dia menambahkan, sejak selesai pembangunan FSRU Lampung pada 2014, operasional tidak maksimal dan tidak sesuai rencana. Namun perusahaan terus membayar sewa yang nilainya lebih dari 90 juta dollar AS.
Kemudian karena mahalnya biaya penyimpanan regasification, tidak ada perjanjian komersil dengan pelanggan, khususnya PLN. Selain itu, Rieke juga menduga terjadi mark up dalam proyek tersebut.
Sementara itu investasi di Saka Energi, seperti disebutkan Rieke, masih mengalami kerugian. Dalam lima tahun terakhir, kerugian itu mencapai rata-rata lebih dari 50 juta dollar AS.
"Siapa yang menanggung? Pertamina lagi yang menanggung?" ucapnya.
Berita Ini Sudah Dipublikasikan di Kompas.com, dengan judul: Rieke Minta PP Holding Migas Dikaji Ulang