Pelemahan Rupiah Berpotensi Tembus Rp 14.200 per Dolar AS
Setelah penutupan perdagangan kemarin menembus level Rp 14.001 per dolar AS, pagi ini, merujuk data Bloomberg, rupiah kembali loyo
Penulis: Syahrizal Sidik
Editor: Fajar Anjungroso
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Syahrizal Sidik
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Peneliti Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara memprediksi, pelemahan nilai tukar akan terus berlanjut hingga akhir Mei 2018.
Menurutnya, terbuka peluang kurs rupiah terdepresiasi Rp 14.000 hingga Rp 14.200 per dolar AS.
Setelah penutupan perdagangan kemarin menembus level Rp 14.001 per dolar AS, pagi ini, merujuk data Bloomberg, rupiah kembali loyo ke level Rp 14.004 per dolar AS.
Day range rupiah berada di kisaran Rp 14.004 hingga Rp 14.043 per dolar AS. Sementara, pelemahan rupiah sejak awal tahun sebesar 3,29 persen.
Bhima berpendapat, setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan pelemahan mata uang garuda.
Pertama, investor melakukan spekulasi terkait prediksi kenaikan Fed rate pada rapat FOMC Juni mendatang setelah pengumuman data pengangguran AS sebesar 3,9 persen terendah bahkan sebelum krisis 2008.
“Spekulasi ini membuat capital outflow di pasar modal mencapai Rp 11,3 triliun dalam 1 bulan terakhir,” kata Bhima, kepada Tribunnews.com, Selasa (8/5/2018) di Jakarta.
Selain itu, pelaku pasar bereaksi negatif terhadap rilis data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I 2018 yang hanya mencapai 5,06 persen.
Baca: Dituding Pejabat Riau Terima Rp 3,2 Miliar, Ini Respons Ketua DPRD DKI
Hal ini disebabkan konsumsi rumah tangga masih melemah terbukti dari penjualan mobil pribadi yang anjlok -2,8% di triwulan I 2018 dan data penjualan ritel yang turun.
“Sentimen ini membuat pasar cenderung pesimis terhadap prospek pertumbuhan ekonomi tahun 2018 yang ditarget tumbuh 5,4 persen,” katanya.
Melonjaknya harga minyak mentah hingga ke level 74-75 dolar AS per barel akibat perang di Suriah dan ketidakpastian Perang Dagang AS-China membuat inflasi jelang Ramadhan semakin meningkat karena harga bbm non subsidi yakni; Pertalite dan Pertamax ikut menyesuaikan mekanisme pasar.
Bhima mengemukakan, permintaan dolar AS diperkirakan naik pada triwulan II 2018 karena emiten secara musiman membagikan dividen. Investor di pasar saham sebagian besar adalah investor asing sehingga mengkonversi hasil dividen rupiah ke dalam mata uang dolar.
Kepanikan Belum Mereda
Bersetuju dengan Bhima, Analis Binaartha Sekuritas Reza Priyambada mengungkapkan, pelemahan rupiah imbas dari pergerakan dolar AS yang masih menguat.
Menurutnya, penguatan dolar AS lantaran masih ada kekhawatiran akan peningkatan inflasi yang mendorong perkiraan kenaikan tingkat suku bunga The Fed yang mana akan berimbas pada terapresiasinya dolar AS.
Sementara itu, sentimen dari dalam negeri dianggap belum cukup kuat signifikan untuk mengangkat rupiah.
“Diharapkan kepanikan dapat mereda dan sentimen dari dalam negeri dapat lebih positif untuk menarik minat pelaku pasar terhadap rupiah sehingga pelemahannya dapat lebih tertahan,” kata Reza.