Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Bisnis

Dradjad H Wibowo: Lucu, AS Diklaim Ancam Lakukan Perang Dagang dengan RI

"Saya tentu saja kaget, tapi juga geli. AS diklaim mengancam perang dagang dengan Indonesia? Lucu," ungkap Lektor Kepala Perbanas Institute ini

Penulis: Srihandriatmo Malau
Editor: Choirul Arifin
zoom-in Dradjad H Wibowo: Lucu, AS Diklaim Ancam Lakukan Perang Dagang dengan RI
ISTIMEWA
Ekonom Dradjad H Wibowo 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ekonom Senior INDEF Dradjad H Wibowo melontarkan kritik tajam atas pernyataan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dan Ketua Apindo Sofyan Wanandi, yang juga staf khusus Wakil Presiden terkait ancaman perang dagang dari Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump terhadap Indonesia.

Dalam tanggapan Mendag dan Sofyan, Indonesia pun dengan gagah menyatakan siap melakukan serangan balik.

"Saya tentu saja kaget, tapi juga geli. AS diklaim mengancam perang dagang dengan Indonesia? Lucu," ungkap Lektor Kepala Perbanas Institute ini dalam keterangan tertulisnya kepada Tribunnews.com, Jumat (6/7/2018).

Anggota Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) itu pun menegaskan tidak ada perang dagang dengan AS.

Dradjad menunjukkan fakta tidak adanya perang dagang tersebut.

Dalam perdagangan internasional ada yang disebut Generalized System of Preferences (GSP). GSP adalah sebuah sistem tarif preferensial yang membolehkan satu negara secara resmi memberikan pengecualian terhadap aturan umum WTO / Organisasi Perdagangan Dunia.

BERITA TERKAIT

"Singkatnya, melalui GSP satu negara bisa memberi keringanan tarif bea masuk kepada eksportir dari negara-negara tertentu, biasanya dari negara miskin. Sementara itu eksportir negara kaya tetap dikenakan aturan umum WTO," jelasnya.

Baca: Menteri-menteri Jokowi Ramai-ramai Maju Jadi Caleg

Kata dia, sejak 1974 AS sangat banyak memberikan GSP.

Saat ini setidaknya terdapat 112 negara merdeka dan 17 teritori yang mendapat GSP dari AS.

Jumlah produk yang diberi GSP sekitar 5000-an item.

Selain untuk membantu pembangunan negara miskin, GSP juga bertujuan mempromosikan nilai-nilai Amerika, termasuk demokrasi dan supremasi hukum.

Jadi jelas, tegas dia, GSP adalah salah satu alat politik luar negeri AS untuk menjaga pengaruh dan dominansi globalnya.

Negara hebat seperti China, negara G7, Uni Eropa, Rusia, Australia, dan Selandia Baru tidak meminta dan tidak menerima GSP.

Ada Singapura dan Malaysia

Menurut Dradjad, Indonesia justru menjadi salah satu penerima GSP, bersama negara ASEAN lain yaitu Thailand, Filipina, Kamboja dan Myanmar.

Lebih lanjut ia menjelaskan, setiap tahun United States Trade Representative (USTR) mengadakan review terhadap penerima GSP.

Jauh sebelum Trump berkuasa, Indonesia sudah masuk review kelayakan GSP dan priority watch list (PWL) dari USTR dalam kriteria hak kekayaan intelektual (HAKI).

"Jadi kelayakan GSP Indonesia bisa dicabut jika gagal memenuhi kriteria HAKI," jelasnya.

Nah, lanjut dia, pada 13 April 2018, USTR mengumumkan akan melakukan review kelayakan GSP terhadap 3 negara yaitu Indonesia, India dan Kazakhstan.

Indonesia akan dinilai dalam kriteria akses pasar serta kriteria jasa dan investasi. Sementara India dalam kriteria akses pasar, sedangkan Kazakhstan kriteria hak pekerja.

Secara spesifik, yang menjadi sorotan USTR adalah terkait industri obat-obatan, kimia/pertanian dan beberapa aturan sektor jasa/investasi yang dinilai tidak fair.

"Itulah yang sebenarnya terjadi. Yaitu, review apakah Indonesia masih layak mendapat GSP," ucapnya.

Dulu hanya HAKI, imbuhnya, sekarang ditambah 2 kriteria, yakni akses pasar serta jasa dan investasi.

"Apakah memberatkan kita? Tentu saja! Tapi ini bukan perang dagang," tegasnya.

Kata dia, AS berbelas-kasihan ke Indonesia. "Dan sekarang mau ngecek apakah Indonesia masih pantas dibelas-kasihani," jelasnya.

Dari sisi skala nilai impor pun, Indonesia “tidak level” jika diajak perang dagang AS.

Impor AS dari Indonesia relatif sangat kecil, hanya USD 19,6 milyar pada tahun 2015 sesuai data US International Trade Commission.

Artinya ini hanya sekitar 1/25 atau 4,1% dibanding impor dari China, 1/15 Kanada atau Meksiko, lebih dari 1/7 Jepang dan hampir 1/6 Jerman. Terlalu kecil.

Yang aneh, meski sudah dapat GSP, Indonesia adalah pembayar tarif bea masuk terbesar kelima di AS, sebesar USD 1,3 milyar pada tahun 2015.
Ini membuat Indonesia terkena tarif efektif sebesar 6,4%, dua kali lipat China yang tanpa GSP tapi hanya kena 3%. Parah kah?

Jadi tegas dia, untuk apa AS perang dengan Indonesia? Wong, diplomat Indonesia selama ini sudah lemah dalam negosiasi tarif bagi negaranya.

Baca: Ada Diskon Televisi TCL di Program TCL Brand Day Lazada Hari Ini

"Kesimpulannya, tidak ada ancaman perang dagang dari AS. Daripada gagah-gagahan di dalam negeri, lebih baik pemerintah kerja kerja dan kerja menurunkan tarif efektif di atas," sindirnya.

Sebelumnya, Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita berkomentar terkait ancaman perang dagang Presiden AS, Donald Trump terhadap Indonesia.

Trump mengancam bakal mengenakan tarif ke-124 pada produk asal Indonesia menyusul defisit yang terjadi pada AS dalam hubungan dagang dengan Indonesia.

Enggartiasto mengakui bahwa kini Pemerintah AS sedang mengevaluasi keberadaan generalized system of preference (GSP) yang diberikan ke produk-produk asal Indonesia.

"Ya GSP-nya itu, kita termasuk dalam negara yang memiliki surplus besar, makanya kami juga sudah kirim surat dan kami sudah menyampaikan mengenai yang pasti ada perbedaan angka dulu, bagaimana menghitungnya, jumlah defisit mereka dengan surplus kita berbeda angkanya," ujar Enggar di Gedung Kemendag, Jakarta, Kamis (5/7/2018).

Enggar meyakini bahwa berdasarkan hitungan yang dilakukannya surplus Indonesia bukan berasal dari daftar bea masuk untuk dikenakan.

Untuk itu, pendekatan dan lobi digunakan Kemendag untuk menyampaikan hal tersebut. Enggar juga menambahkan, Duta Besar Indonesia di AS pun telah diminta untuk membantu Kemendag.

"Dubes kita di Amerika juga menyampaikan pendekatan dan saya sendiri melakukan komunikasi dengan Amerika untuk meyakinkan, sebab pada dasarnya kita tidak setuju dengan perang dagang karena semua pihak akan dirugikan, kita lebih senang kolaborasi," tutur Enggar.

Meski demikian, Enggar menegaskan, Pemerintah Indonesia tak segan mengambil tindakan jika Trump tetap dengan ancamannya.

"Tetapi, kalau kita dapat tekanan, maka hal itu (perang dagang) bisa kita lakukan. Sama halnya dengan AS dan China. Imbasnya akan berdampak di seluruh dunia," sambung Enggar.

Sebelumnya, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mulai melayangkan peringatan kepada Indonesia karena jumlah ekspor ke AS lebih tinggi dibanding jumlah ekspor AS ke Indonesia.

Hal ini diungkapkan Ketua Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia ( Apindo) Sofjan Wanandi saat acara halal bihalal di kantor Apindo, Kamis (5/7/2018) malam.

"Dia (Trump) sudah kasih kita warning bahwa ekspor kita lebih banyak pada dia dan kita harus bicara pada dia mengenai beberapa aturan-aturan di mana dia memiliki special tariff placement yang dia mau cabut. Itu terutama di bidang tekstil dan lain-lain," kata Sofjan di hadapan pengurus Apindo.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di

Wiki Populer

© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas