Strategi Pengusaha Siasati Dampak Pelemahan Rupiah
pengusaha menempuh upaya efisiensi agar volatilitas Rupiah tidak berdampak negatif bagi dunia usaha.
Penulis: Syahrizal Sidik
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menyiasati dampak melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, pengusaha menempuh upaya efisiensi agar volatilitas Rupiah tidak berdampak negatif bagi dunia usaha.
Pasalnya, pelemahan Rupiah sejak awal tahun tercatat sebesar 7,30 persen di posisi Rp 14.545 per dolar AS.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Rosan Perkasa Roeslani mengemukakan, langkah efisiensi tersebut ialah dengan menekan marjin keuntungan.
“Opsinya kan ada dua, pertama kita bisa berikan ini kepada konsumen, atau kita cut margin kita,” kata Rosan, saat ditemui di Gedung Bursa Efek Indonesia, Sudirman, Jakarta (24/7/2018).
Baca: Aksi Cabul Ayah Tiri Terbongkar Seusai Ibu Korban Baca Pesan di Seluler
Rosan menuturkan, langkah antisipasi tersebut sangat diperlukan, karena ada kemungkinan otoritas moneter bakal kembali mengerek tingkat suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate yang saat ini berada di level 5,25 persen. Dengan naiknya suku bunga, otomatis cost of fund juga akan terkerek.
“Kita melihat suku bunga kemungkinan akan masih naik lagi sampai akhir tahun ini, untuk itu kita antisipasi,” kata Rosan.
Baca: Into-Ajis Temukan Ular Piton 7 Meter Jelang Malam Tiba, Temuan Pertama di Puuwanggudu
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Departemen Statistik Yati Kurniati mengatakan, sejumlah industri yang rentan terdampak pelemahan nilai tukar Rupiah seperti industri kimia dan farmasi, industri tekstil, makanan dan minuman lebih memilih untuk menekan marjin daripada menaikkan harga di tengah fluktuasi nilai tukar Rupiah.
“Berdasarkan survei kami, mereka belum mengubah harga jual tapi menurunkan marjin, tapi dia juga tidak mau sampai rugi,” kata Yati di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (12/7/2018).
Namun demikian, dirinya masih belum menjelaskan lebih rinci mengenai berapa persentase penurunan marjin keuntungan tersebut. “Kita tidak tanya berapa persentasenya, tapi kalau tidak merubah harga untuk tetap survive ya menekan marjin keuntungan,” jelasnya.
Yati menjelaskan, industri tersebut masih mengandalkan bahan baku dari luar negeri yang cukup dominan. Industri farmasi misalnya, saat ini hampir 90 persen bahan bakunya impor.
“Industri tersebut importir inputnya memang tinggi, karena harus tetap mengimpor untuk memenuhi pesanan,” ungkapnya.