Iming-iming Gaji Tinggi, Rusia Rekrut Tentara Bayaran Yaman untuk Perang di Ukraina
Rusia merekrut ratusan tentara bayaran dari Yaman untuk memperkuat pasukan di Ukraina, dijanjikan gaji tinggi dan kewarganegaraan Rusia.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Rusia telah merekrut ratusan tentara bayaran dari Yaman untuk berperang melawan Ukraina.
Laporan ini disampaikan oleh Financial Times (FT), yang mengungkapkan bahwa rekrutan dijanjikan gaji tinggi dan kemungkinan memperoleh kewarganegaraan Rusia.
Dikutip dari Kyiv Independent dan RBC-Ukraine, para tentara bayaran tersebut direkrut melalui perusahaan yang memiliki hubungan dengan militan Houthi.
Setelah tiba di Rusia, mereka dipaksa untuk bergabung dengan tentara Rusia dan langsung dikirim ke garis depan di Ukraina.
Laporan ini menyoroti operasi perdagangan gelap yang menunjukkan hubungan yang semakin erat antara Kremlin dan Houthi, yang didukung oleh Iran.
Sejak invasi besar-besaran ke Ukraina, Rusia telah menggunakan berbagai metode untuk merekrut individu dari negara lain guna mengatasi kerugian di medan perang.
Selain dari Yaman, laporan menunjukkan bahwa Rusia juga merekrut tentara dari Nepal, Somalia, India, dan Kuba.
Keterlibatan Korea Utara
Rekrutmen tentara bayaran dari Yaman oleh Rusia menyoroti strategi Moskow dalam memperkuat pasukan di Ukraina sekaligus memperdalam hubungan dengan militan Houthi.
Dalam perkembangan terkait, Korea Utara dilaporkan telah mengirim lebih dari 10.000 tentaranya untuk berperang melawan Ukraina.
Baca juga: Tak Hanya Ribuan Pasukan, 60 Rudal Balistik Korea Utara Telah Bombardir Ukraina
Dengan melibatkan negara-negara lain seperti Korea Utara, Rusia tampaknya berupaya untuk menciptakan ketidakstabilan yang lebih luas di kawasan tersebut.
Tentara-tentara ini dilatih di Rusia sebelum dikerahkan ke wilayah Kursk.
Menurut laporan, pasukan DPRK telah terlibat dalam pertempuran dan menerima imbalan berupa minyak dan senjata dari Rusia.
Kerja Sama Houthi dan Rusia
Laporan sebelumnya oleh Wall Street Journal (WSJ) menyebutkan, militan Houthi telah menggunakan data satelit Rusia untuk menyerang kapal-kapal di Laut Merah.
Kolaborasi ini menunjukkan seberapa jauh Presiden Rusia Vladimir Putin bersedia berinvestasi dalam menciptakan ketidakstabilan politik dan ekonomi di wilayah tersebut.