Inalum Buka-bukaan soal Divestasi Freeport dan Isu Lingkungan
Inalum harus membayar sebesar US$ 3,85 miliar untuk bisa memiliki saham mayoritas di PTFI
Editor: Sanusi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kendati sales and purchase agreement (SPA) telah ditandatangi pada 27 September 2018, namun PT Indonesia Asahan Aluminum (Inalum) masih belum sah menggenggam 51% saham di PT Freeport Indonesia (PT FI). Pendanaan menjadi kunci agar proses divestasi ini bisa usai.
Inalum harus membayar sebesar US$ 3,85 miliar untuk bisa memiliki saham mayoritas di PTFI. Untuk menyiapkan dana sebesar itu, Inalum mencari pembiayaan dari sindikasi perbankan.
Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin bilang, ada delapan bank asing yang akan memberikan pinjaman. Namun, seperti kata Budi setelah menandatangi SPA, ia mengaku belum bisa memberikan penjelasaan yang terperinci tentang pinjaman dari perbankan asing ini.
“Kita nggak bisa kasih tahu sekarang sampai transaksinya selesai,” ujarnya.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR RI pada Rabu (17/10) lalu, Budi meyakinkan bahwa tidak ada bank dari negara China dalam sindikasi perbankan tersebut. Ia pun mengungkapkan alasan mengapa yang tidak ada bank lokal dalam sindikasi tersebut.
“Kenapa tidak ada perbankan dari dalam negeri? Karena supaya tidak ada uang yang keluar,” ujarnya.
Namun, menurut Budi, ada sejumlah kondisi yang harus dipenuhi agar delapan bank asing tersebut mau mencairkan pinjamannya. Salah satunya ialah soal penyelesaian masalah lingkungan yang dihadapkan pada PT FI.
“Nggak mungkin uang ke luar kalau isu ini nggak selesai. Akan sulit kita mendapatkan pendanaan dari institusi internasional. Jika bank tidak mencairkan pembiayaan, transaksi tidak terjadi,” jelas Budi.
Pasalnya, dalam forum tersebut, Komisi VII DPR RI mempersoalkan tentang temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyebutkan angka sebesar Rp. 185 triliun sebagai jasa potensi ekosistem yang hilang akibat aktivitas penambangan PT FI.
Terlebih, menurut Ketua Komisi VII Gus Irawan Pasaribu, ada juga temuan BPK yang mengungkapkan bahwa PT FI memakai kawasan hutan lindung tanpa adanya Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) seluas 4.535,93 hektare.
“Ekosistem yang rusak, kalau direhabilitasi, dirupiahkan pada saat audit dilaksanakan dua tahun lalu, itu sebesar Rp. 185 triliun. (Untuk pemakaian kawasan hutan lindung tanpa IPPKH), sudah berlangsung delapan tahun. BPK menghitung, kalau itu tanpa izin, potensi kerugian negara untuk PNBP itu hitungannnya Rp. 33 miliar lebih per tahun,” ungkap Gus Irawan.
Menurutnya, hasil temuan BPK ini bersifat mengikat, dan harus dijalankan. Karenanya, Gus menyebut, pihaknya mendorong agar persoalan lingkungan ini diselesaikan lebih dulu sebelum transaksi divestasi dilakukan.
“Temuan BPK itu final and binding. Kami simpulkan dalam rapat hari ini, bahwa pembayaran divestasi itu dilakukan setelah soal lingkungan ini diselesaikan,” ujarnya.
Namun demikian, Budi tetap yakin, tahapan divestasi ini bisa usai pada bulan Desember tahun ini. Sambil menunggu pencairan dana pinjaman itu, Budi menjelaskan, dalam rentang bulan Oktober hingga Desember 2018 ini, ada sejumlah hal yang masih perlu diselesaikan.