Perkuat Daya Tahan dan Turunkan Defisit Transaksi Berjalan, Bank Indonesia Naikkan Suku Bunga Acuan
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 14-15 November 2018 memutuskan untuk menaikkan tingkat suku bunga acuan BI.
Penulis: Syahrizal Sidik
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 14-15 November 2018 memutuskan untuk menaikkan tingkat suku bunga acuan BI 7-day reverse repo rate sebesar 25 basis poin dari 5,75 persen menjadi sebesar 6 persen.
Dengan demikian, suku bunga deposit facility juga naik sebesar 25 basis poin menjadi 5,25 persen dan lending facility menjadi 6,75 persen.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, kebijakan menaikkan suku bunga acuan tersebut merupakan langkah lanjutan Bank Indonesia untuk memperkuat daya tahan dan menurunkan defisit transaksi berjalan dalam batas aman.
"Kenaikan suku bunga kebijakan tersebut juga untuk memperkuat daya tarik aset keuangan domestik dengan mengantisipasi kenaikan suku bunga global dalam beberapa bulan ke depan," kata Perry di Kompleks Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (15/11/2018).
Bank Indonesia mencatat, defisit transaksi berjalan pada triwulan III 2018 sebesar 8,8 miliar dolar AS atau 3,37 persen PDB, lebih tinggi dibandingkan dengan defisit triwulan sebelumnya sebesar 8,0 miliar dolar AS 3,02 persen PDB.
Secara kumulatif defisit neraca transaksi berjalan hingga triwulan III 2018 tercatat 2,86 persen PDB.
Peningkatan defisit neraca transaksi berjalan itu dipengaruhi oleh penurunan kinerja neraca perdagangan barang dan meningkatnya defisit neraca jasa.
Penurunan kinerja neraca perdagangan barang terutama dipengaruhi oleh meningkatnya defisit neraca perdagangan migas, sementara peningkatan surplus neraca perdagangan barang nonmigas relatif terbatas akibat tingginya impor karena kuatnya permintaan domestik.
Kalangan ekonom memperkirakan transaksi berjalan Indonesia masih akan mengalami defisit pada triwulan keempat.
Kepala ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual memperkirakan, defisit transaksi berjalan pada triwulan IV-2018 sebesar 3,3 persen terhadap PDB.
Perekonomian dunia yang masih dibayangi oleh ketidakpastian yang bersumber dari Amerika Serikat yang melakukan normalisasi kebijakan moneter, kebijakan fiskal yang pro-cyclical, menyebabkan kenaikan suku bunga dan imbal hasil surat berharga Amerika Serikat yang berimbas ke seluruh dunia.
Selain itu, faktor menguatnya dolar Amerika Serikat dan pengetatatan likuiditas menyebabkan arus modal keluar dari negara-negara emerging yang menyebabkan tekanan pada nilai tukar mata uang berbagai negara, termasuk Indonesia.
"Indonesia merupakan negara yang bebas aliran modal, sehingga ketika ada arus modal keluar, perubahannya bisa begitu cepat," kata David Sumual kepada Tribunnews.com, Kamis (8/11/2018).
Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, kepada Tribunnews.com memaparkan, investor global sering mencampur Indonesia ke dalam kelompok lima negara yang rentan mengalami gejolak karena masalah defisit transaksi berjalan.
Sebagai perbandingan, pada triwulan III-2018, defisit transaksi berjalan kelima negara tersebut, Indonesia menyentuh 3,37 persen Produk Domestik Bruto, Brazil punya defisit transaksi berjalan 1 persen, Turki 5,7 persen PDB, India 2,4 persen, dan Afrika Selatan 3,5 persen PDB.
Bhima memperkirakan, transaksi berjalan akan kembali defisit pada triwulan keempat di kisaran 2,9 persen - 3,2 persen PDB.(*)
Baca: Dirut BEI: Gubernur BI Perry Warjiyo Harus Buktikan Fundamental Ekonomi RI Kuat
Baca: Harapan Bamsoet untuk BI di Bawah Gubernur Perry Warjiyo