Pemerintah Diminta Batalkan Relaksasi DNI di Bidang Survei
Pemerintah diminta mengkaji kembali rencana relaksasi DNI (Daftar Negatif Investasi), khususnya di bidang survei
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM - Pemerintah diminta mengkaji kembali rencana relaksasi DNI (Daftar Negatif Investasi), khususnya di bidang survei yang selama ini sudah dilakukan oleh lembaga survei BUMN dan swasta yang selama ini sudah menunjukkan kinerja dan reputasi yang sangat baik.
Dalam siaran pers yang diterima disebutkan, permintaan itu mengemuka dalam diskusi terbatas mengenai ekonomi dan kebijakan publik akhir tahun 2018 dengan tema "Menimbang Ulang Kebijakan Pemerintah atas Relaksasi DNI" yang diselenggarakan oleh Program Magister Adminitrasi Publik Universitas Nasional, Jakarta, Senin (10/12/2018) siang.
Permintaan tersebut merupakan respon atas keputusan pemerintah yang mengeluarkan 54 bidang usaha dari DNI 2018, termasuk jasa survei/jajak pendapat masyarakat dan penelitian pasar, sebagaimana diumumkan oleh Menko Perekonomian Darmin Nasution dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu, 19 November 2018 lalu.
Baca: Bali United Bidik Tiket Kompetisi Asia Lewat Piala Indonesia 2018
Beberapa lembaga jasa survei yang akan dibuka untuk investasi asing itu antara lain survei panas bumi, jasa survei objek-objek pembiayaan atau pengawasan persediaan barang dan pergudangan, dan jasa survei kuantitas.
Pemerintah beralasan mengeluarkan jasa survei dari DNI karena untuk mendukung transfer teknologi dan memanfaatkan jaringan jasa internasional.
Selain itu, karena jasa survei kuantitas/kualitas menjadi bagian dari jaringan jasa survei internasional, sehingga mendorong agar hasil survei lebih mudah diterima dan dipercaya di negara tujuan ekspor.
Namun para pembicara yang hadir dalam diskusi tersebut mempertanyakan urgensi keputusan pemerintah membuka keran lembaga survei asing yang selama ini sudah dilakukan oleh lembaga survei BUMN dan swasta Nasional.
“Pemerintah semestinya memperkuat posisi lembaga survei yang sudah memiliki kinerja, reputasi dan prestasi bagus, kemampuan sumber daya manusia dan jaringan internasional sudah sangat bagus,” kata Dr. I Made Adnyana, SE., M.M., Ketua Program Studi Ilmu Manajemen dan dosen Pascasarjana Universitas Nasional (Unas) yang hadir sebagai pembicara dalam diskusi itu.
Menurut Made, selama ini jaringan internasional dapat diperoleh perusahaan-perusahaan jasa survei BUMN dan swasta melalui kemitraan dengan perusahaan multinasional, baik secara konsorsium, kerjasama operasi, sub-kontrak, afiliate, dan/atau bentuk lain.
“Teknologi Jasa Survei bukan merupakan hal yang sulit dijangkau oleh perusahaan survei nasional karena tersedia mitra & provider yang mudah diakses, baik yang terkait dengan peralatan (hardware/software), model bisnis, tansformasi digital, maupun sistem dalam rangka meningkatkan daya saing,” jelas Made.
Selain itu, lanjut Made, perusahaan jasa survei nasional sudah diakreditasi oleh SNI ISO 17020 oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) dan diakui oleh seluruh dunia melalui Mutual Recognition Agreement (MRA) International Accreditation Forum (IAF).
Dengan demikian, lanjut Made, setiap laporan yang dilakukan oleh usaha jasa survei nasional telah mendapatkan pengakuan secara internasional. Karena itu, menurutnya tidak perlu ada keraguan lagi terhadap kemampuan jasa survei nasional.
Sementara Dr. Rusman Ghazali, M.Si, Ketua Program Pasca Sarjana Admintrasi Publik Universitas Nasional (Unas) Jakarta menilai, lembaga survei BUMN dan swasta Indonesia sejauh ini sudah sangat memadai dan sudah teruji ketika komitmen pasar berbasis ASEAN diberlakukan akhir tahun 2015 lalu.