Relaksasi DNI Ancam Pertumbuhan Industri Dalam Negeri
Anggota Komisi VI DPR RI, Lili Asdjudiredja mengungkapkan kebijakan relaksasi Daftar Negatif Investasi DNI ancam pertumbuhan industri dalam negeri.
Editor: Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komitmen pemerintah melindungi industri dalam negeri patut dipertanyakan ketika pemerintah bermaksud merilis kebijakan relaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI).
Industri kecil, menengah dan BUMN akan porak-poranda, alih-alih mengundang investasi asing, Indonesia malah hanya akan menjadi pasar konsumsi asing.
Demikian diungkapkan anggota Komisi VI DPR RI, Lili Asdjudiredja.
Politisi Golkar ini mengkhawatirkan daya saing industri lokal terhadap gempuran asing yang dibekali kekuatan kapital raksasa.
Dia menyarankan, pemerintah sebaiknya membantu perkembangan bisnis industri dalam negeri.
Kebijakan relaksasi DNI ini juga mesti memperhitungkan dampaknya ke sektor lapangan kerja, perdagangan, teknologi, dan industri.
Lili mencontohkan usaha kecil pembuatan kapas kecantikan yang pernah dibinanya saat jadi Kandep Perindustrian.
Dengan sejumlah bantuan teknologi, 114 industri bisa berkembang. Tapi kini, saat pemodal besar masuk, pabrik besar berdiri, usaha kecil tak sanggup bersaing.
Akhirnya, mati pelan-pelan.
Lili juga menyarankan agar sektor usaha yang digarap BUMN juga dilindungi dari serbuan asing.
Bukannya tak kuat bersaing, namun mengundang asing datang itu dengan alasan transfer teknologi dan memanfaatkan jaringan internasional itu adalah tidak tepat.
Baca: Polisi Tangkap Arhedi, Pelaku Pembantai Burung Rangkong yang Viral di Medsos
"Orang BUMN kita itu pintar-pintar kok. Mereka tenaga terdidik, menempuh pendidikan tinggi di kampus hebat dalam dan luar negeri. Jangan ragukan kehebatan anak bangsa kita. Di era globalisasi, semua informasi mudah didapat, jaringan bisa dari mana saja," kata Lili.
Seperti diketahui, di antara 54 bidang usaha yang dikeluarkan dari DNI tahun 2018 termasuk jasa survei/jajak pendapat masyarakat dan penelitian pasar beberapa lembaga jasa survei yang akan dibuka untuk investasi asing itu, antara lain survei panas bumi, jasa survei objek-objek pembiayaan atau pengawasan persediaan barang dan pergudangan, dan jasa survei kuantitas.
Pemerintah beralasan mengeluarkan jasa survei dari DNI untuk mendukung transfer teknologi dan memanfaatkan jaringan jasa internasional.
Selain itu, karena jasa survei kuantitas/kualitas menjadi bagian dari jaringan jasa survei internasional, sehingga mendorong agar hasil survei lebih mudah diterima dan dipercaya di negara tujuan ekspor.
Hal senada diungkapkan Dekan Fakultas Ekonomi dan Pembangunan Universitas Muhamadiyah Yogyakarta Rizal Yaya.
Menurutnya, Relaksasi DNI bukanlah sesuatu yang diperlukan untuk pengembangan UKM maupun BUMN.
Jenis bisnis yang masuk dalam program relaksasi tersebut adalah jenis bisnis yang tidak memerlukan investasi besar dan teknologi yang rumit misalnya warung internet dan industri pengupasan umbi umbian.
Bahkan industri sudah identik dengan lahan bisnis masyarakat Indonesia.
Baca: Kementan Serahkan Bantuan 40 Ton Benih Padi VUB untuk Gapoktan Tasikmalaya
"Jika ini mau dikembangkan, yang diperlukan adalah pemberdayaan berupa kemudahan kredit, pengenalan teknologi baru dan pengembangan pasar. Beberapa jenis bisnis seperti industri percetakan kain dan industri kayu veneer sangat mungkin didorong untuk akses pasar luar negeri jika dapat ditingkatkan kualitasnya," jelasnya.
Yaya mengatakan, kekhawatiran masyarakat dengan terpinggirkannya usaha mereka oleh asing dengan adanya kebijakan relaksasi DNI ini sangat beralasan.
Pengalaman beberapa tahun ini dengan bebasnya bisnis retail seperti Alfamart dan Indomaret beroperasi di lingkungan perumahan penduduk, telah berakibat banyak usaha sejenis masyarakat lokal menjadi bangkrut.
"Jadi pemerintah perlu memikirkan tidak hanya pengembangan industri tapi juga mempertahankan penguasaan bisnis oleh masyarakat lokal. Tanpa itu maka masyarakat lokal hanya menjadi konsumen saja dalam perkembangan kemajuan ekonomi. Implikasi dapat menimbulkan kesenjangan ekonomi di kalangan masyarakat," ujarnya.
Sementara, pengamat ekonomi dari STIE Ahmad Dahlan Jakarta Mukhaer Pakkanna menambahkan, membuka keran investasi asing sebenarnya bagian dari corak liberalisasi ekonomi.
Di mana, pemodal asing bisa leluasa memasuki sejumlah bidang usaha yang selama ini tertutup.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.